MENCINTA  TANPA  BATAS

INTI  KEBAIKAN  CINTA  KRISTIANI  DEWASA  INI


*
*
*
*
*

 

 

 

 

Terjemahan bebas
dari tulisan:

THERE IS NO MEASURE TO LOVE
About the essence of Christian neighbourly love today



Penulis:

Bruder Rene Stockman FC, PhD

 Superior  General  Kongregasi Bruder-Bruder  Karitas

 

(c) Hak Cipta ada pada Br. Rene Stockman FC

Anda dipersilahkan membaca dan boleh memasang link blog ini di Website Anda

tapi tidak diperkenankan untuk mencetak atau mengcopy teks ini. 

 





KATA  PENGANTAR



            Dewasa ini, kita sering mendengar pertanyaan; masih adakah ruang bagi cinta kasih. Mungkinkah dalam dunia modern ini,  seorang yang profesional tidak memberikan ruang untuk cintakasih atau masih  adakah  tempat bagi cinta kasih yang sempurna  tanpa pengalihan kepada hal-hal duniawi dan yang bersifat profesional? Penekanan masalah ini dimaksudkan bahwa istilah Cintakasih masih dalam pertentangan dan harus dibicarakan.

Sebelum kita membicarakan perubahan yang begitu sensitif ini, kita harus mempunyai gagasan yang jelas tentang Cintakasih. Secara tradisional, yang dimaksudkan dengan  karya  Cintakasih adalah kepedulian terhadap kaum miskin dan kepedulian terhadap mereka yang sakit atau kesediaan pribadi untuk mencinta seperti telah diserukan dalam Alkitab kepada kita?

Cintakasih atau pembatinan cinta merupakan pokok cintakasih sebagai orang Kristen. Mencintai sesama, merupakan tugas umat manusia secara keseluruhan yang penekanannya diterima melalui pesan Kitab Suci. Secara umum dapat  dikatakan bahwa Yesus Kristus tidak menemukan cintakasih tapi telah menyerahkan diri sepenuhnya dalam cinta itu sendiri.

Dari keseluruhan nilai kasih, mencinta mempunyai peringkat yang tertinggi.  Maka dari itu, kita selalu diarahkan pada banyak karya cintakasih yang Yesus telah kerjakan, karena Yesus pergi untuk melakukan perbuatan baik dan menyembuhkan orang sakit yang dibawa kepada-Nya. Sejalan dengan contoh tersebut, pembebasan kemiskinan dan kepedulian terhadap yang sakit dalam Gereja disebut “Karya Kasih”. Cintakasih merupakan hak bagi mereka yang aktif terlibat dalam pertolongan terhadap yang miskin dan yang sakit, sehingga dewasa inipun, kita dapat tahu bahwa masih ada ruang untuk cintakasih.

Dalam arti terbatas, Cintakasih merupakan hidup dari Cintakasih seperti yang dimaksudkan oleh Yesus sendiri. Haruskah kita membatasi cintakasih untuk suatu karya yang disebut belas kasih, atau memperluas pandangan dan konsep dengan apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Dia memerintahkan kita untuk mencintai sesama? Karya cintakasih merupakan konsekwensi cinta kepada sesama seperti Kristus menginginkan cintakasih itu ada dan menghidupi cintakasih dalam diri-Nya sendiri, tapi  karya cintaksih itu bukanlah (tidak identik dengan) cintakasih itu sendiri.

Yesus menunjuk pada sikap dasar apa yang diharapkan, Dia mengharap dari para pengikutnya dengan memberikan kepada kita perintah tentang cinta : Kamu harus mencintai Allahmu diatas segalanya dan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri ......(Mrk. 13: 29-31). Setiap orang diantara kita mengetahui tentang  perintah ganda ini, tapi apakah kita secara jelas menyadari konsekwensi bagi diri kita, jika kita hidup secara total berdasarkan perintah tersebut?

Setelah membaca penelitian Prof Paul Moyaer’s tentang cinta, saya mulai berpikir secara mendalam tentang perintah cinta dan secara khusus tempat untuk cinta kasih yang merupakan bagian dalam perintah tersebut. Saya sungguh ingin belajar tentang mencinta dan saya telah mencoba untuk berani dan kadangkala berpandangan yang ekstrim secara positif untuk menerapkan hal tersebut dalam hidup harian kami.  Bagimana kita dapat menghidupi perintah ini secara radikal dan tanpa batas dalam zaman kita, atau bagaimana  kita dapat menaruh perhatian yang lebih sementara secara teoritis kita menghindari dan punya perasaan fanatik atau  gagal terhadap tuntutan cinta yang begitu tinggi itu?

Saya suka untuk membagikan gagasan saya dengan pada pembaca untuk mengundang pembaca  menelusuri pokok hidup  mereka sendiri. Mungkin hal tersebut juga merupakan suatu tantangan untuk mengenal lebih dalam konsep tentang Cintakasih dan untuk memberikan tempat yang baik bagi cintakasih dalam hidup mereka.

Untuk memulai berpikir tentang proses ini, saya menerima suatu kartu dari seorang teman baik dengan  mengutip teks dari Santo Bernardus dari Clairvaux  “Mencinta tanpa batas”. Kalimat tersebut menggerakkan saya untuk memakainya sebagai judul utama pada sampul depan buku ini.  Sebagai anggota Bruder Karitas, tema ini sangat cocok secara khusus untuk saya sendiri karena istilah tersebut menyentuh bagian terdalam dari karisma Bruder Karitas.  Secara jelas, hal ini berasal dari sudut pandang bahwa: Saya menulis teks ini, untuk seekor burung yang dikenali karena kicauannya.

Bruder Rene Stockman
Pantekosta 1999



JIKA SAYA TIDAK MEMPUNYAI CINTA  (1 KOR 13:1)


St. Paulus secara khusus berkata:” Sekalipun aku dapat berbiara dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat tapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemericing.... Jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna ... ( 1Kor 13:1-2).

Sabda yang lebih jelas dan lebih radikal  itulah yang dibutuhkan.  Santo Paulus mengikuti jejak Yesus; Yesus sendiri menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang perintah yang terbesar dari seluruh hukum dengan berkata: ”Kamu harus mencintai Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap jiwamu dan dengan seluruh akal budimu.  Inilah perintah pertama yang terbesar dan terutama. Perintah yang kedua, kamu harus mencintai sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.  Seluruh hukum dan perintah nabi tertuang dalam dua perintah ini (Mt. 22:36:39).

Pandangan St. Lukas lebih sesuai dengan kita dalam menjawab pertanyaan para ahli Taurat, “Guru, apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup kekal? ”Kamu harus mencintai Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dengan segenap akal budi dan dengan seluruh kekuatan dan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri“(Lk. 10:25-28). Jesus menambahkan disin:” Jawabmui tu benar; perbuatlahdemikian, maka engkauakan hidup” (Lk 10:29).

Ketika kita membandingkan antara Injil Lukas dan Injil Matius, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, kita akan memperoleh perkataan tentang perintah mencinta sebagai berikut:

“Apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup abadi dan perintah mana yang paling besar?”. Seluruh hukum dan nubuat para nabi tergantung pada dua perintah ini.  Pergilah dan berbuatlah demikian maka kamu akan memperoleh hidup (Lukas 10:37). Dari kalimat itu, kita dapat mengetahui lebih dalam dari pesan Kitab Suci tersebut. Perintah tentang cinta harus dilaksanakan, karena kita tidak mempunyai lebih banyak lagi Kabar Gembira.  Dalam perintah tersebut, Santo Paulus mengatakan secara terbuka  bahwa jika dia tidak mempunyai cinta, dia tidak berarti apa-apa.

Sebuah rak penuh dengan buku-buku tentang  cinta, bahkan banyak bercerita tentang cinta, akan tetapi  manusia tidak pernah lelah berbicara tentang cinta, dua hukum utama itu terkait pula dengan tiga realitas pokok, yaitu Allah, diri sendiri dan sesama.

Yesus menjawab pertanyaan tentang cinta dengan memberikan dua perintah yang didalamnya terlibat tiga subyek utama itu.  Hal ini merupakan sesuatu yang berharga dan pantas menjadi bahan permenungan kita.



1.1.  “SELURUH HUKUM DAN NUBUAT PARA NABI TERTUANG DALAM KEDUA PERINTAH”

Dalam Injil Lukas, para ahli taurat dengan jelas mengetahui jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh Yesus dengan sangat baik. Yesus mengetahui Alkitab dan telah menemukan apa yang dikatakan oleh taurat dan para nabi tentang esensi-pokok hidup dari orang Israel yang beriman.

Yesus mengetahui tentang Alkitab dimana Dia telah membaca bahwa  Cinta Allah melampaui segala hal dan dewa-dewa lain harus ditinggalkan: ”Aku, Tuhan, Allahmu, yang membawa kamu keluar dari Tanah Mesir, tempat perbudakan.  Kamu tidak boleh mempunyai dewa lain selain Aku...tapi (Aku menganugerahkan) belaskasih, turun kepada seluruh keturunanmu dan atas anak-anakmu yang mencintai Aku dan menaati seluruh perintahKu,”(Kel  5.6-7;10).

Perhatian kepada orang miskin, cinta kepada sesama/tetangga yang secara eksplisit disebutkan dalam kita Torah. Dalam kitab Keluaran 15:7-8, kita telah membaca tentang perhatian kepada para miskin, ” Jika salah satu dari sanak saudaramu dalam berbagai komunitas membutuhkan tanah yang diberikan oleh Tuhan Allahmu, yang diberikan kepadamu, kamu jangan mengeraskan hatimu atau bahkan menutup tangan kepadanya di dalam kebutuhannya.  Tetapi, kamu harus membuka tanganmu kepadanya dan dengan bebas memberikannya yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Para Nabi berbicara dalam semangat yang sama.  Mereka menghubungkan kasih Allah dengan kasih kepada sesama dan secara ekplisit mempertimbangkan kasih yang baik sebagai suatu perintah ilahi.  Nabi Yesaya (58:6-7) mengatakan: “Bukan berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang uyang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri”.

Nabi Yehezkiel juga berbicara dengan nada yang sama :”Jika seorang manusia adalah orang benar dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, dan ia tidak makan daging persembahan di atas gunung atau tidak melihat kepada berhala-berhala kaum Israel, tidak mencemari isteri sesamanya dan tidak menghampiri perempuan waktu bercemar kain, tidak menindas orang lain, ia mengembalikan gadaian orang, tidak merampas apa-apa, memberi makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, tidak memungut bunga uang tau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangn, melakukan hukum yang benar di antara manusia dengan manusia, hidup menurut ketetapanKu dan tetap mengikuti perintahKu dengan berlaku setia…”....(Yhz 18:5-9)

Dalam Kitab Tobit, sebuah teks penuh dengan karya cintakasih, kita dapat membaca: ”Berikanlah kepada yang lapar.......(Tobit 4: 16-17).

Kita juga dapat mengutip banyak lagi contoh karya yang baik seperti yang Yesus sarankan.  Dia mengulangi apa yang hukum dan para nabi perintahkan tapi Dia memerintahkan suatu hidup berdasar atas prinsip-prinsip ini, sebagai jalan abadi untuk kepenuhan hidup.


1.2.  PERGI DAN KERJAKANLAH

Suara ini sungguh suatu perintah. Kristus memerintahkan kepada kita untuk mencintai  mereka yang malang, dan untuk mencintai sesama.  Dia memerintahkan hal seperti itu  kelihatannya aneh karena kita mempertimbangkan cinta yang sejati menjadi sesuatu yang biasa dan spontan.  Kita tidak dibiasakan untuk mencinta. Mencintai setiap orang yang tidak pernah dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat wajib – karena orang lain menjatuhkan kita, kita kadangkala dibayangi oleh keburukan mereka itu. Cinta dalam keadaan yang biasa merupakan suatu emosi, suatu aspek jiwa yang diaktifkan secara spontan dan tak terkendali.

Dalam hubungan dengan Yesus, Cinta diambil sebagai suatu perintah untuk menekankan fakta bahwa yang Dia maksudkan lebih dari suatu emosi ketika berbicara tentang cinta.  Kita harus melakukan sesuatu sesuai dengan perintah Kitab Suci tentang cinta yang lebih dari sekedar emosi  spontan seseorang.

Ketika Kristus menunjuk kepada Hukum dan Nubuat para Nabi (Mat 5:17) dan mengatakan bahwa Dia tidak datang untuk menghapus tapi untuk menyempurnakannya, Dia dengan sungguh-sungguh mengatakan kepada kita untuk mencintai musuh-musuh kita: ”Kamu telah mendengar bahwa kamu harus mencintai sesamamu dan membenci musuhmu. Tapi Aku berkata kepadamu, cintai musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, agar kamu menjadi anak-anak Allah surgawi..”(Mat 5:43-45).

Secara emosional, kita tidak dapat mencintai musuh-musuh kita, ini merupakan hal yang alami untuk membenci musuh; tapi kita harus menghindari hal itu karena kebencian ini mulai memakan jiwa kita dan kebencian mencoba untuk mempertahankan keadaannya dalam hubungannya  dengan orang lain. Kita dengan mudah dapat membaca mengenai Khotbah di Bukit dan ketenangan diri kita sendiri untuk tidur dengan mengatakan bahwa kita tidak mempunyai banyak musuh, atau bahwa kita telah mencintai mereka yang telah memasukkan kita ke dalam kesulitan hidup kita. Psikologi Modern mengajarkan kepada kita untuk menjadi tegas, untuk mengungkapkan emosi kita dan tidak menekan emosi itu. Khotbah di Bukit berlawanan dengan hal-hal yang baru itu, secara berani pesan Yesus menuntut kita untuk memberi kesaksian tentang prinsip-prinsip Kekristenan kita dalam hidup: ” Karena jika kamu mencintai mereka yang mencintai kamu apa untungnya bagi kamu?Jangan melakukan seperti yang pemungut cukai lakukan? Dan jika kamu hanya menyapa saudaramu saja, apa bedanya dengan yang lain? Jangan melakukan seperti yang penyembah berhala lakukan? Jadilah sempurna seperti Bapa-mu sempurna adanya” (Mt. 5.48).


Dalam hidup sosial kita sehari-hari, kita sungguh-sungguh dapat melihat, bahwa kita sering berkelakuan seperti yang dilakukan oleh para penyembah berhala, dimana pada tingkatan ini cinta emosional jauh dari perintah cinta yang menjadi ajakan Kristus bagi kita.  Menjadi manusia yang baik, seperti pada kata ‘pergi’, tidaklah cukup seperti yang para penyembah berhala lakukan. Kita orang Kristen dipanggil untuk menjadi sempurna seperti Bapa surgawi (Mat. 5:48) Untuk mencintai dalam cara Kristus mencintai seperti yang telah diperlihatkan kepada kita (Yoh. 13:34)

Dengan mempertimbangkan secara lebih jauh tentang perintah cinta ini, kita menemukan bahwa ada dua aspek cinta, yaitu perintah untuk mencintai Allah dan  perintah untuk mencintai sesama seperti kita mencintai diri kita sendiri. Perintah yang pertama, mencintai Allah diatas segala hal, merupakan perintah yang utama tapi perintah yang kedua seperti juga perintah yang pertama, ini berarti bahwa mencintai Allah harus juga mencintai sesama dan diri sendiri, sebab Allah mencintai kita pertama kali, seperti yang Santo Johanes katakan:”bukan kita yang mencintai Allah tetapi Ia yang mencdintai kita dan mengirim PutraNya sebagai pengganti dosa kita (1 Joh 4:10). Hal tersebut selalu berhubungan dengan cinta; perbedaan bukan terdapat dalam cinta itu sendiri tetapi dari obyek cinta kita. Santo Yohanes berpendapat bahwa cinta kita kepada Allah secara alami membimbing cinta kepada sesama kecuali kalau cinta kita kepada Allah adalah suatu kepura-puraan”. Jika seseorang berkata, ‘aku mencintai Allah,’ tapi membenci sesamanya, dia adalah seorang pendusta, siapa yang tidak bisa mencintai saudara/sesama-nya dia tidak dapat mencintai Allah yang tidak kelihatan.  Ini adalah perintah yang kami peroleh dariNya: ”siapa yang mencintia Allah harus juga mencintai saudaranya,” (1 Yoh 4:20-21).

Meskipun sesama merupakan subordinat (lebih rendah dari) Allah, dia menjadi pengganti keunikan dari Allah sesuai dengan perintah cinta. Kita harus mencintai sesama, disana cinta kita kepada Allah dapat menjadi nyata dan kelihatan hanya melalui cinta kita kepada sesama.  Cinta kita kepada Allah akan selalu menemukan ungkapannya dalam cinta terhadap sesama kecuali cinta kita kepada Allah hanya sebatas teori belaka atau hanya isapan jempol belaka.

Kita harus dapat memahami Sabda Yesus dalam Perjamuan Terakhir: ”Apa yang kamu lakukan untuk saudaraku yang paling hina ini, kamu melakukan untuk aku,”(Mt 25:40). Kedua perintah utama tentang cinta ini merupakan keserupaan antara cinta Allah dan cinta sesama yang diangkat oleh Yesus sebagai satu kesatuan.  Lebih lanjut, cinta kepada sesama itu setingkat dengan cinta pada diri sendiri, sesuatu yang tidak biasa.  Lalu apa yang dimaksud dengan cinta itu sendiri?

Sejumlah pendapat mengatakan kepada kita bahwa semua diciptakan menurut bentuknya, kecuali manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, (Kej 1:26). Umat manusia, saya juga tentunya, diberikan suatu kedudukan yang terhormat – gambaran dan keserupaan dengan Allah, merupakan kesatuan dengan Allah. Kita bukanlah Allah tapi lebih dari anak-anak Allah dan menjalankan gambaran dan keserupaan-Nya dalam diri kita. “Ketika Allah melihat segala sesuatu.....Dia melihat semuanya itu baik,”(Kej 1:31). lalu mengapa kita tidak bisa mencintai yang lain dan malah menolak gambaran dan keserupaan Allah dalam diri orang lain? atau bagaimana kita harus mewujudkan cinta pada gambaran Allah dalam sesama tapi tidak dalam diri kita sendiri yang juga gambar Allah? Cinta yang suci dan benar dari diri kita sendiri merupakan suatu  jalan untuk menghormati Allah.  Disana muncul masalah jika mencinta disangkutkan dengan kompetisi antara Allah, sesama dan diri kita sendiri. Egoisme menciptakan suatu masalah karena ego masuk dalam kompetisi dengan Allah dan sesama. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mencintai Allah jika kita tidak mencintai sesama.  Sementara itu keterlibatan 3 subyek dan dua perintah dari perintah cinta menjadi suatu kesatuan dalam hidup.  Dengan kata lain, Allah, sesama dan diri kita sendiri berada dalam tingkat yang sama ketika hal itu berada dalam satu dimensi yang disebut cinta itu.


SIAPA YANG DAPAT DISELAMATKAN (Mt. 19:25)

Ketika kita menyadari sepenuhnya kebesaran dari perintah Cinta, kesadaran ini akan melingkupi kita. Dan dengan segera akan muncul suatu pertanyaan: dapatkah kita menangani begitu banyak karya cintakasih? Atau bukankah kita akan bertugas diluar kemampuan kita? Khususnya untuk perintah cinta yang kedua yaitu untuk mencintai sesama membuat kita pusing karena kita dihadapkan dengan sesuatu yang tanpa batas, tak terukur.seperti dikatakan oleh Santo Bernardus: ”Mencinta tanpa batas”.

Kewajiban untuk mencintai merupakan suatu perintah yang positif, perintah cintakasih ini tidak ada batasnya, kita tidak pernah dapat merasa cukup untuk mencinta; kita tidak akan pernah mampu mengatakan bahwa kita telah cukup mencintai, perasaan yang selalu tidak cukup, belum mencapai yang ideal, cinta yang sepenuhnya, merupakan bentuk dari mencinta meski ada kemungkinan kegagalan atau bahkan efek-akibat yang membuat kita pesimis.

“Cintailah musuhmu”, sehubungan dengan hal tersebut, Perjanjian Lama mengatakannya dengan agak tergesa-gesa.  Kitab Taurat menggambarkan suatu cara bahwa musuh itu harus dihukum.  Prinsip ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’ sangat beralasan. Kristus menghancurkan alasan tersebut dengan alasan yang beralasan pula. Musuh tidak diperlakukan hanya dengan alasan rasional tapi menurut cinta – ini sungguh-sungguh merupakan hal yang sangat berbeda sudut pandangnya.

Tidak mengherankan jika para murid bertanya kepada Yesus dalam suatu keputusasaan: ”Siapa yang dapat diselamatkan?”(Mat. 19:25). Kemudian Yesus menjawab:” Apa yang tidak mungkin bagi manusia, tapi mungkin bagi Allah. (Mat 19 :25).  Pertanyaan tentang kemungkinan dari perintah cinta ini terkandung dalam perintah itu sendiri, karena  cinta yang tak terbatas yang mana kita diundang untuk mencintai merupakan hal pokok yang berhubungan dengan cinta Ilahi yang tak terbatas.  Santo Yohanes Penginjil mengatakan kepada kita dengan jelas dalam suratnya yang pertama:
“Marilah kita mencintai seorang terhadap yang lain, karena Cinta adalah dari Allah, setiap orang yang mencintai dilahirkan dari Allah dan mengenal Allah. Siapa saja yang tanpa cinta, tidak mengenal Allah, karena Allah adalah cinta.  Dalam cara ini pula cinta Allah diwahyukan kepada kita; Allah mengutus Putera-Nya ke dalam dunia  sehingga kita mempunyai hidup di dalamNya.  Inilah yang dimaksud dengan cinta: bukan kita yang telah mencintai Allah, tapi Dia yang mencintai kita dan mengirim putra-Nya sampai mati karena dosa kita. Anakku yang terkasih, jika Allah begitu mencintai kita, kita juga harus mencintai yang lainnya.  Tidak ada satupun yang telah melihat Allah. Meskipun begitu, jika kita mencintai yang lain, Allah akan tinggal dalam kita, dan cintaNya dibawa kepada kesempurnaan di dalam kita.” Adakah cinta yang lebih besar yang diperlihatkan kepada kita oleh Allah daripada penghargaanNya terhadap kodrat kemanusiaan kita? Ini merupakan ungkapan tertinggi dari cinta Allah yang tak terbatas bagi umat manusia.  Kita harus mencintai seorang dengan yang lainnya seperti Allah telah mencintai kita, dengan cintaNya. “Kita mencintai sebab Dia yang pertama mencintai kita,”(1 Yoh. 4:19)

Kita harus membiarkan cinta Allah bersinar di atas kita, berdoa kepada Allah untuk karunia cinta dan terbuka kepada Allah yang memungkinkan kita mampu untuk mencinta.  Perintah cinta yang tak terbatas terhadap sesama dapat dimengerti dan ditiru hanya jika cinta itu terkait dengan kasih Allah yang tak terbatas yang tertuang sebagai perintah yang pertama.  Perintah ini hanya berdasarkan pada kasih kita kepada Allah sehingga kita dengan tulus mencintai sesama.

Disamping jawaban secara teologis, Yesus menawarkan kepada kita suatu jawaban antropologis sebagai contoh konkret dalam hidup sehari-hari.  Dalam Lukas 10, kita menemukan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, yang segera diikuti oleh kunjungan Yesus kepada saudaranya; Lazarus, Martha dan Maria. Yesus mempunyai sahabat yang baik, yang mana Dia membagikan cintanya secara spontans dan tak terduga sehingga mereka merasa diterima oleh Yesus.

Teilhard de Chardin mengatakan: ”Kristus mempunyai dua kriteria sahabat. Pertama adalah mereka yang miskin, sakit, kekurangan dan pendosa, yang mana Dia memberikan waktu terbaiknya bagi mereka; yang kedua adalah apa yang oleh Yesus disebut saudara angkat yaitu orang yang berada dalam rombongan dengan Yesus dan diantara mereka, Yesus dapat beristirahat.”

Yesus berkata kepada para murid dengan baik: ”Aku telah memanggilmu sahabat, karena Aku telah mengatakan kepadamu segala sesuatu yang telah Aku dengar dari Bapa-Ku” (Yoh.15:15). Yesus membagikan kedekatannya sendiri, yaitu hubungannya dengan Bapa dan dengan sahabat-Nya. Yesus perlu untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk menerima cinta persahabatan. Siapa saja yang merasa rugi secara cinta emosional mempunyai banyak kesulitan untuk mencintai sesamanya dengan suatu cinta yang melampaui yang emosional. Cinta persahabatan ini ada pada tingkat manusia, yang memungkinkan kita untuk melakukan cinta kepada sesama.  Dengan kata lain, kita tidak akan mampu meletakkan hati dan jiwa kita untuk memberi perhatian kepada yang kekurangan, jika pada saat yang sama kita tidak dapat menyandarkan suatu persahabatan secara spontan yang didasarkan atas kehendak hati untuk berbuat.  Tanpa dukungan dari kesetiaan cinta yang tulus terhadap sesama, maka cinta kelihatan menjadi mati.

Cinta Allah mengilhami kita untuk mencintai sesama dengan tanpa batas, dan kita dikuatkan untuk melakukan sesuatu seperti yang dimaksudkan oleh cinta persahabatan, yang jauh diluar pemikiran kita. Hal inilah yang membuat kita merasa gagal untuk mencapai suatu cinta yang ideal. karena cinta kita terbatas, yang kadangkala membuat kita menjadi frustrasi.

 

HIDUP UNTUK CINTA


Seorang ahli Alkitab Yahudi, Chouraqui berkata: ”Saya tahu bahwa saya harus menemukan cinta untuk diriku sendiri, untuk berbuat sesuatu dengan keadaan saya dan ada dalam kemurnian ku”. Perkataan ini mau menggaris-bawahi tentang pentingnya untuk mencinta. Cinta itu mempunyai banyak dimensi, dan hidup dalam cara yang berbeda.  Perintah Kristus tentang Cinta juga merupakan dua aspek (Allah dan manusia) yang termasuk di dalamnya tiga subyek (Allah, diri sendiri dan sesama)..

Secara tradisional, Cinta dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu: agape, amor atau eros, philia dan karitas.

Agape merupakan kasih Ilahi yang diberikan kepada manusia dan manusia mungkin menjawabnya.  Agape atau cinta Allah telah diwahyukan dalam suatu sabda dan hidup dari Yeus Kristus, yang bertindak atas cinta Allah dan yang hidup secara sempurna dari cinta Bapa.

Amor atau asmara (cinta eros / romantik) adalah usaha manusia dan kerinduan yang ideal untuk mendapatkan kebahagiaan penuh. Setiap orang mempunyai keinginan, nafsu di dalam dirinya untuk meraih kepuasan dan pemenuhan. Ciri dari kerinduan itu tak dapat dipenuhi dalam hidup diri sendiri, tetapi justru dengan meninggalkan diri dan pengosongan diri yang diusahakan terus-menerus.

Philia atau cinta persaudaraan adalah hubungan manusia berdasarkan perasaan, kejiwaan dan spiritual diantara dua orang satu sama lain dan mendapat pemenuhan dalam kehadiran satu sama lain.

Akhirnya, itu adalah karitas atau memberi karena cinta. Dalam “ Lexicon for Theology and Church” itu digambarkan sebagai berikut:

  • Cinta yang mana Tuhan menyampaikan kepada manusia melalui Kristus dalam Roh Kudus sehingga manusia dimungkinkan untuk mencintai sesamanya.
  • Secara singkat, karitas adalah cinta sesama secara kristiani, cinta yang memberi kepada yang membutuhkan kasih; akhirnya perkembangan pemahaman karitas juga menjadi indikator dalam karya karitas Gereja.

Agape, amor, philia dan karitas – empat kata yang masing-masing mempunyai penggunaannya sendiri-sendiri dalam kenyataan yang biasa disebut cinta. Yang menjadi perhatian kita di sini adalah karitas dan penerapannnya di masa kini, kami akan berbicara secara intensif pada model cinta karitas itu. Meski demikian, kita tak dapat memisahkan dari cinta Tuhan (agape) yang mana memberikan inspirasi, juga tidak terlepas dari cinta persaudaraan (philia) yang memberi dorongan manusiawi dalam berkaritas. Begitulah, kami akan menjelaskan keduanya, agape dan philia, dalam memberikan gambaran dan pengetrapan karitas dalam hidup masa kini.


2.1.    ALLAH YANG TERCINTA

Di bagian depan, kami menulis bahwa dari perintah cintakasih, cinta kepada Allah adalah yang pertama dan  perintah yang utama, dan itu merupakan langkah untuk meraih yang kedua yaitu perintah mencintai sesama (karitas). Itu dapat membimbing kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kita membutuhkan cinta Allah dalam mencintai sesama, dan bahwa cinta kita kepada Tuhan adalah arti dari cinta kepada sesama. Pernyataan itu harus dicermati dengan hati-hati, kita dapat menurunkan cinta Tuhan pada tataran manfaat saja, padahal di tengah dunia modern ini orang biasanya mencari manfaat dan juga kalau tak ada keuntungan dianggap tak berguna. Dalam keadaan itu, kita tidak hanya dibelokkan dari perintah cintakasih, tetapi juga diselewengkan dari cinta Tuhan karena menjadikan Tuhan diperalat dalam pemikiran dan tindakan kita (mencintai karena pamrih).  Bagaimanapun, Tuhan adalah jauh lebih besar dari manusia, dan cintakasihNya melampaui tataran kegunaan maupun pemikiran manusia.

Marilah kita memperhatikan St. Bernardus of Clairvaux (1090 – 1153), seorang petapa yang menulis buku tentang cinta kepada Tuhan, “De diligendo Deo” (A God to be loved). Terjemahan dari buku itu dan komentarnya antara lain dibuat oleh Fr. Lode Van Hecke of  Orval Abbey and Hein Blommestijn of Titus Brandsma Institute in Nijmegen, yang telah diterbitkan belum lama ini..

Menjawab pertanyaan dari Kardinal Haimeric tentang alasan mengapa dan bagaimana cara sebaiknya mencintai Allah, St. Bernardus menjawab dengan sangat sederhana: “Allah itu sendiri yang menjadi alasan mengapa kita mengasihi Allah; tanpa batas  adalah cara kita mencintai Allah”. Tidak ada alasan lain untuk mengasihi Allah dari pada pribadi Allah itu sendiri. Kenyataannya, hidup kita selalu terhubung dalam Allah yang mengharuskan kita untuk mengasihi Allah secara utuh dan membuka diri untuk cinta Allah.

St. Bernardus langsung menambahkan bahwa ia telah mengatakan segala sesuatu tentang itu dan ia telah selesai dengan penulisannya. Dan ia benar, untuk pencapaian karitas prinsipna adalah agape, yang adalah cinta Ilahi. Kita harus mencintai Allah hanya karena Allah itu sendiri.  Allah adalah cintakasih, cinta kepada manusia merupakan usaha kita menjawab cinta Tuhan, dan dengan cinta kita kepada Allah dan manusia, itu adalah jawaban yang bijaksana dari manusia. Jika kita sebagai ciptaan yang bebas memutuskan tidak mengingkari diri sejati kita dan kembali kepada Allah, maka hanya dengan itu kita mencintai Allah, yaitu ketika kita mewujudkan keberadaan kita dan keberadaan itu bukanlah hak kita sendiri, kita mulai mempertimbangkan cinta Allah sebagai sebab dari keberadaan diri kita.

Surat Rasul Yohanes berulangkali menekankan perlunya cinta Tuhan karena Allah mencintai kita lebih dulu (I Yoh 4: 10). Sesudah 20 abad kekristenan berlangsung hal itu menjadi pusat dari pewartaan, dan kita tak boleh jatuh dalam gerakan kemanusiaan belaka (humanisme), meski pewartaan Yohanes itu tidak mudah untuk dimengerti begitu saja.

Adalah tidak begitu mudah untuk menghubungkan antara cinta Allah dan jawaban manusia dalam penjelasan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimanapun, kita melihat penyimpangan perwujudan perintah cintakasih ketika orang di dalam hati mengira telah menerima cinta Ilahi tetapi dengan bertingkah laku yang aneh dan dengan cara tidak baik. Semua itu akibat dari penyesalan-penolakan yang ada pada dirinya sendiri dan tak ada sesuatu yang dibuat dengan cinta Allah, karena cinta kepada Tuhan tidak pernah akan menolak / bertentangan dengan cinta kepada sesama.


BILA KITA MERENUNGKAN CINTA ALLAH, BAHAYA LAINNYA ADALAH KITA MERASA LANGSUNG SUDAH MASUK ALAM SPIRITUAL

Banyak buku rohani dimulai dari level itu sehingga buku-buku itu tidak memberikan pemahaman menyeluruh bahkan tidak cocok dengan cara berpikir modern pada umumnya. Spritualitas sering dijadikan tempat perlindungan untuk mendapatkan semangat tetapi sekaligus untuk ketenangan jiwa, tetapi dengan cara memisahkan kita dari kehidupan sehari-hari dan realita hidup yang keras. Spiritualitas seperti itu tidak mewujudkan bagaimana cinta Allah berkarya dalam hidup.

Jika kita mau berpikir jernih, perintah cintakasih bagian pertama itu (cintailah Tuhan Allahmu) juga menghormati cinta kepada sesama atas dasar cinta kepada Allah (=karitas), yang kedua (cintailah sesamamu dan diri sendiri) mendapatkan maknanya dari yang pertama, kita harus mulai dengan mempertimbangkan kenyataan manusia seperti adanya, diciptakan dari debu tetapi manusia menemukan bahwa ia adalah ciptaan Allah dan secitra dengan Allah, siapakah manusia, ia bukan malaekat dan bukan Allah. Dalam hal ini, St. Bernardus dapat membantu lagi, ia melanjutkan pada buku yang disebutkan di atas, ia membicarakan cara manusia dapat menghampiri cinta Allah. Pengarang itu membimbing kita dengan 4 phase-tahapan, memberi kita perluasan pemahaman, melalui yang kita telah pahami jika kita ingin mencapai agape, sungguh, kita mencintai Allah karena pribadi Allah itu sendiri alasannya.

Pada umumnya manusia punya kerinduan untuk mencintai. Umumnya manusia itu prinsipnya terarah kepada cintakasih. St. Bernardus menyebut cinta sebagai “perasaan natural / alamaiah” sebuah dorongan dari dalam manusia, Cinta itu tertuju pada diri sendiri dan pada sesama. Gerakan pertama cinta adalah kepada diri sendiri. Kita ingin hidup bahagia, mencapai kepenuhan hidup dan menjadi sungguh berbahagia, kita memelihara kesehatan, mencintai diri sendiri, menerima diri kita sendiri apa adanya, dan menemukan diri sebagai ciptaan Allah yang unik. Bagaimanapun cinta pada diri sendiri adalah penting sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan akhir. Cinta diri mengembangkan dan menjadikan mampu memcapai pemenuhan perkembangan dalam cinta itu dan menerima cinta sesama sehingga kita dimungkinkan untuk terbuka terhadap sesama kita. Saya membutuhkan orang lain agar saya bisa jadi diri saya sendiri, dan kamu membutuhkan saya agar kamu dapat mencapai kepenuhan dirimu. Kita tak akan berhenti berinteraksi agar menjadi diri kita masing-masing, karena yang satu sama lain adalah bagian tak terpisahkan dengan saling memberikan cinta dan menanggapi cinta.  Itulah perlunya membuat ruang bagi cinta yang spontan kepada sesama seperti saya rasakan untuk memanusiakan orang lain.  Itu hanya aspek emosional. St. Bernardus menyebut bahwa itu adalah phase pertama, bahwa manusia mencintai dirinya karena kesadaran dirinya, itu adalah untuk merealisasi diri, untuk mencapai kepenuhan hidup dan kebahagiaan.  Hal ini memenuhi kerinduan dan penyaluran libido (dorongan seks), tetapi lebih dari itu adalah merupakan realisasi diri sebagai manusia yang bahagia dalam komunitas dan sebagai warga dari umat manusia.

Dalam situasi manusiawi, kita mengalami keterbatasan yang menjadi halangan perkembangan pribadi yang harmonis. Dalam pilihan bebas sebagai orang beriman, manusia akan menemukan Allah yang maha itu, justru melalui keterbatasan yang dialami oleh manusia, karena ke-Mahakuasaan Allah mengatasi kelemahan dan keterbatasan manusia itu. Hidup manusia menjadi perjumpaan yang unik dengan Allah dalam usaha / kerja keras kehidupan yang mantap dalam berhadapan dengan kesulitan hidup dan bahkan kematian sekalipun. Allah adalah satu-satunya yang kita cari dan cintai dalam keadaan kita yang tak berdaya, di mana kita berdoa untuk memohon pertolonganNya, dan akhirnya kita mengharapkan penyelamatan dari Allah. Allah menjadi pendukung kita untuk bangkit dari ketak-berdayaan kita.

Banyak doa-doa mengandung sikap dasar di atas: Allah adalah Penolongku, Penyelamatku, Penebusku dan Penyembuhku. St. Bernardus mengajarkan bahwa itu adalah phase / tahap kedua, jika kita mencintai Allah demi Diri Allah sendiri yang menjadikan diri kita lebih baik karenanya.

Sungguh, kita jauh dari inti kenyataan perintah cintakasih yang pertama (kasihilah Tuhan Allahmu), karena cinta kita selalu terarah pada keuntungan, kegunaan. Banyak orang tetap tinggal di level / tahapan itu dan baru mau berdoa kepada Allah jika mereka dalam keadaan kesulitan (terjepit) karena orang bersikap perhitungan bahwa Allah akan menolongnya kalau ia berdoa.  Saya tidak mau mengatakan bahwa kita tidak perlu berdoa kepada Allah untuk mohon pertolonganNya bila kita butuh pertolongan Allah, tetapi yang mau saya katakana adalah pentingnya kemurnian cinta kepada Allah mengatasi tahapan itu.

Dari pengalaman kami akan kehadiran Allah dalam ciptaan dan karya penebusaaNya, kami boleh menjadi yakin bahwa kami sungguh mencintai Allah, bukan karena perbuatan kami yang baik, meskipun kami tidak merasa bahagia,  tidak karena kelemahan dan nasib buruk kami, sederhana saja, yaitu mencintai seperti apa adanya keadaan kami. Pengalaman itu tergantung pada kami sendiri, bisa jadi menjadikan kami semakin setia kepada cinta Allah sehingga kami hanya akan menjawab cintaNya dengan cinta kami kepadaNya. Allah adalah kenyataan dari hidup kita, mengisi hidup kita, kita merasa dipanggil untuk berserah hidup ke dalam cintaNya. Hanya itulah alasan untuk mencintai Allah, karena pribadi Allah itulah, “Pribadi Allah sajalah yang menjadi alasan kita mencintaiNya”. Ini adalah tahap ketiga menurut St. Bernardus – mencintai Allah di dalam Allah. Ini juga merupakan tahapan di mana perintah cintakasih pertama (kasihilah Tuhan Allahmu) yang mengundang-memanggil kita; itulah kesejatian agape jika kita mencintai Allah dengan segenap hati dan pikiran, dengan segala tenaga, tanpa motivasi tersembunyi lainnya yang dibuat-buat, kita mencintai Allah hanya karena Allah itu sendiri.

Orang yang sudah mencapai pengalaman mistik (bersatu dengan Tuhan) boleh jadi mengalami bahwa ia tak akan keluar lagi dari pengalaman mistiknya. Mereka akan dengan tenang dan damai tinggal tersembunyi dalam pengalaman itu; mereka mungkin mendapatkan tantangan besar dari keadaan tidak beres dunia dan mereka akan menyalurkan cinta mistik. Bagaimanapun, itu bukanlah pesan dan hidup Kristus, yang mendaki gunung dan dalam kesendiriannya menghadap Bapa tetapi harus turun lagi untuk bertemu dengan banyak orang. Perintah cintakasih yang pertama (cinta kepada Allah) tidak terpisahkan dengan cinta kepada sesama dan diri sendiri. Jeritan sesama yang menderita mengundang kita pada waktu kita berjumpa dengan Allah, karena kita mau tinggal dalam cinta Allah yang bergerak dalam kehidupan sesama.

Menurut St. Bernardus, itu adalah tahap keempat – manusia mencintai diri sendiri dalam pertanggungjawaban kepada Allah. Kami dapat menambahkan: manusia sedang melihat sesamanya dan diri sendiri secara baru, ia memandang dengan cara pandang Allah.  Pada tahapan ini, kesejatian cinta kepada sesama lahir-bertumbuh dan kita dapat hidup berbagi. Penyangkalan diri, begitu disebutkan oleh para penulis rohani, adalah lebih dari sekedar askese dan perendahan diri dengan sikap yang negatif dalam menghadapi dunia, tetapi merupakan kesadaran mengosongkan diri untuk menyediakan ruang bagi cinta Ilahi dalam hidupnya, dengan meninggalkan yang tak perlu dalam mengembangkan hidup sesuai kehendak Tuhan.

Kehidupan dan pengalaman-pengalaman akan cinta Allah dengan cara ini menjadi kekuatan (dari dalam pribadi) yang mengarahkan kita keluar dari diri sendiri dan terbuka bagi sesama dengan cintakasih yang melampaui sekedar cinta emosional saja. Itu yang membuat kita dapat memahami secara baik ungkapan St. Paulus: Caritas Chirsti urget nos’, Cintakasih Kristus mendorong kita. Cintakasih Allah menjadi kondisi yang menjadikan cinta kepada sesama, tidak hanya sekedar perbuatan karitatif. Karitas menjadi mungkin hanya karena agape (cinta Allah), dan philia (cinta persaudaraan) juga akan diubahkan oleh agape itu.



2.2.    AKU MEMANGGIL KAMU SAHABAT

Philia atau cinta persahabatan, sebagai bagian dari permenungan kita atas Cintakasih, menuntut perhatian kita dengan lebih baik. Kita berkata bahwa cinta yang dengan keras hati dari sesama akan mati jika tanpa dukungan dari persahabatan. Yesus mengatakan kepada para murid dengan mana Dia hidup hari demi hari: ”Aku telah menyebut kamu sahabat karena Aku telah mengatakan segala sesuatu yang Aku dengar dari BapaKu,”(Yoh 15:15). Perkataan itu memperlihatkan bahwa cinta persahabatan ini dapat diwujudkan: Hal itu akan mengangkat selubung yang menyembunyikan  pikiran terdalam-ku kepada yang lain. Keterbukaan dari hatimu yang terdalam merupakan pusat persahabatan itu sendiri dan keterbukaan merupakan suatu tuntutan dasar. Dalam hidup dengan semua temanku, aku dapat menjadi diriku sendiri dan aku merasa menghargai diriku sendiri.

Mengetahui bahwa seseorang diterima orang lain dalam hati terdalam bukan hanya merupakan inti persahabatan tapi juga merupakan penegasan timbal balik Seorang psikiater dari Belanda  Dr. A.A.A. Terruwe, telah mengembangkan suatu visi hidup.  Kita bersyukur kepada dia karenanya. Buku aslinya:”Cinta Membangun Suatu Rumah”, berisi suatu pandangan typical atas cinta yang diterapkan pada Philia.  Saya sadar bahwa karyanya itu merupakan uraian lebih jauh tentang Philia.  Cinta merupakan suatu perasaan  baik kepada pribadi lain. Disana ada beberapa kebaikan dalam dirinya bagi diriku sehingga aku secara emosional merasa ditarik olehnya.  Ini jelas merupakan suatu emosi yang ingin menemukan pengungkapannya dalam kelembutan. Cinta dalam suatu perasaan emosi manusia, merupakan suatu “Affectio naturalis’ (perasaan alamaiah) seperti dikatakan St. Bernardus. Cinta merupakan dasar seluruh hidup psychic manusia; Cinta adalah catatan kunci yang mana harmoni hidup emosional dibangun.  Cinta mencari pengungkapan diri  melalui kelembutan yang terlihat dalam cara yang dapat kita lihat sendiri, pendekatan terhadap pribadi yang lain. Suatu kelembutan yang nampak, terhindar dari suatu nafsu, tapi lebih kepada ketenangan dan keramahtamahan. Sentuhan kelembutan tidak terbelenggu oleh keinginan egoisme tapi merupakan suatu bentuk kepedulian, sentuhan lembut dan kasih.  Setiap budaya mempunyai ciri sentuhan persahabatan sendiri. Juga kata-kata yang dibicarakan menghasilkan suatu nada kebaikan, kehalusan dan cinta.

Plilia melewati beberapa tahap untuk mencapai putaran penuh. Pada tahap pertama, dengan kepekaan seorang teman akan menerima  perasaan cinta  dan mengalami bahwa ia dicintai.  Dia adalah obyek kebaikan pribadi yang mencinta.  Pribadi yang dicinta  dipindahkan secara emosional olehnya dan mendapatkan kesenangan di dalamnya: dia terbentuk dan dikuatkan dalam kemanusiaannya. Dicinta dan tahu untuk mencinta merupakan inti pribadi yang tumbuh ke arah pemenuhan realisasi pribadi.  Anak-anak yang tidak pernah mengalami perasaan itu, mereka mempunyai resiko besar kearah hidup seperti orang yang lemah kepribadiannya yang dapat menimbulkan  gejala penyakit syaraf yaitu mudah frustasi.

Pada tahap kedua, yang dicinta terbuka terhadap yang mencinta.  Dia ingin menjawab  cinta yang diperlihatkan kepadanya.  Cinta mengembalikan cinta, seperti yang kita bicarakan tentang cinta Allah.  Maka cinta menjadi suatu kebaikan timbal balik bagi mereka yang saling mencinta dengan mengambil kegembiraan dalam ungkapan cinta, dan yang dicinta menghargai cinta yang dia terima.

Pada tahap ketiga, kesadaran pengembalian cinta oleh yang dicinta adalah suatu putaran yang sempurna.  Dimana kita biasa menghentikan permenungan atas cinta pada tahap ini. Dr. Terruwe menganalisa cinta ini lebih mendalam, seperti pada situasi dimana cinta tidak dapat dikembalikan atau dimana pengembalian cinta dibatasi dalam pengungkapannya. Maka dia mengembangkan teori pengendalian cinta, suatu konsep yang selalu disebut sebagai yang tidak lengkap, dianggap kuno dan hanya cocok untuk jiwa-jiwa yang saleh dan orang-orang yang belum dewasa.

Menurut hemat saya, tanggapan atas cinta merupakan hal yang sangat penting pada Philia.  Perasaan cinta pada tahap pertama adalah baik tapi tidak sempurna dalam dirinya sendiri. Itu menyebabkan suatu kerinduan, suatu kerinduan akan adanya tanggapan cinta yang sesuai. Pertanyaannya adalah: apakah jenis tanggapan atas cinta  yang kita harapkan, itu berbeda pada seseorang yang sedang jatuh cinta atau seseorang yang sungguh-sungguh mencinta penuh makna, baik bagi  yang dicinta maupun yang mencinta. Melaksanakan tindakan menanggapi cinta juga mengandung kesejahteraan bagi yang dicinta dan yang mencinta, bukan pada kesenangan sensual yang mana seseorang merasakan adanya ketertarikan. Proses ini dapat menjadi perasaan cinta, yang tidak ditekan, dan tidak dapat dipenuhi melalui perbuatan kelembutan timbal balik baik karena keadaan yang direncana atau karena situasi yang bersifat sementara.  Dalam hal ini, perasaan cinta merupakan akhir, karena seseorang boleh memilih dengan sadar, secara rasio, karena pengorbanan seseorang dan kerinduannya atas cinta demi kesejahteraan pribadi yang lain.  Dr. Terruwe menggambarkannya dengan kalimat berikut: ”Kekayaan cinta ada dalam penawaran yang memadai dari cinta bila sesuai dengan ukuran dan hal-hal dalam penerimaan.”

Harapan akan tanggapan cinta, merupakan kesempurnaan alami dari cinta manusia karena hal itu terfokus pada yang baik dari yang lain dan atas apa yang merupakan yang baik bagi yang mencinta, dan dalam penyangkalan diri sendiri. Kemurnian cinta dibentuk oleh pengendalian kesenangan seseorang demi kesejahteraan yang lain. Sejauh kesenangan kita terjadi dalam pengembangan cinta yang timbal balik, hal itu merupakan bagian dari kesenangan dan secara nyata diturunkan pada suatu obyek kesenangan. Jika orang yang mencinta dan yang dicinta setuju saling menjadi obyek kesenangan, hubungan mereka jauh dari cinta yang murni.

Dalam pandangan ini, kita dapat bertanya apakah pengekangan cinta bukan merupakan  suatu hal yang bersifat menghambat. Dan ini sungguh-sungguh akan terjadi bila kita hanya menghargai cinta dengan mengharapkan imbalan oleh cinta yang kita impikan dan kita rindukan.  Tapi kemudian kita kehilangan nilai perasaan cinta yang ada di dalam cinta. Walaupun perasaan ini bukan merupakan akhir, tapi perasaan ini baik dan dapat menjadi suatu tujuan karena suatu kebaikan yang lebih tinggi. Jika perasaan cinta merupakan suatu tindakan emosional, maka perasaan cinta tidak dimaksudkan untuk dipegang; dengan kata lain, hidup emosional manusia secara alami cenderung dibimbing oleh alasan tapi juga dibatasi oleh alasan itu sendiri. Maka Pengekangan cinta yang beralasan mungkin bisa terjadi, bahkan perlu, seperti bimbingan lain yang beralasan dari emosi kita sehingga cinta kita akan menjadi lebih manusiawi.  Sebagai pengganti frustasi karena suatu tekanan, suatu kegembiraan yang lebih besar akan menjadi milik kita karena kita menerima suatu emosi cinta yang cukup dalam pandangan dari kesejahteraan yang dicinta. Penerimaan emosi cinta merupakan cinta yang murni.  Cinta murni ini akan membawa kamu secara khusus bagaimana perintah pertama mengatakan kepada kita untuk mencintai Allah dengan segenap hati, segenap tenaga dan segenap budi kita. Cinta menjadi suatu tindakan emosional, tidak dimaksudkan menjadi suatu alasan manusia untuk bermatiraga. Dalam buku Bernanos,” Journal d”un cure de campagne”, Kita baca: ”Panggilanmu ditemukan dalam persahabatan. Tapi pikiran yang terakhir tidak diperburuk oleh suatu keinginan, karena dari seluruh penyakit yang ada, hanya satu penyakit manusia yang tidak pernah disembuhkan secara total.”


“APA YANG KAMU LAKUKAN UNTUK SAUDARAKU YANG PALING HINA INI”.

SETELAH BERBICARA TENTANG AGAPE DAN PHILIA, KITA SIAP UNTUK MERENUNGKAN LEBIH DALAM TENTANG KARITAS

Ini adalah perintah kedua di dalam radikalitasnya: ”Kamu harus mencintai sesamamu, bahkan kamu harus mencintai musuhmu.” Kita harus mencintai semua orang tanpa batas, setiap orang dalam segala keadaan, tanpa batas, tanpa ukuran. Kenyataannya hal ini sangatlah mengejutkan. Yesus mengerti bahwa para pendengarnya merasa terganggu ketika Dia menegaskan perintah cinta dalam radikalitasnya; Dia menggambarkan hal itu dengan mengatakan suatu perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik ketika para ahli hukum bertanya,”Dan siapa sesamaku”? (Lukas 10. 20-37). Jika ada beberapa penegasan bahwa Yesus tidak menemukan karitas, ini mungkin bila mereka berpikir tentang cinta sesama seperti yang orang Yahudi lakukan, sesuai hukum Taurat dan kitab para nabi, harus baik seorang terhadap yang lain, yang miskin dan yang sakit. Tapi kasihnya kepada sesama bersifat nationalistik, terbatas pada orang Yahudi dan di antara mereka sendiri. Orang asing mendapatkan perlakuan yang berbeda dan diletakkan pada tingkat janda-janda dan yatim piatu: ”Ketika kamu memetik anggurmu, kamu tidak harus pergi ke kebun anggur, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan Janda (Ul 24:21). Mereka harus puas dengan hasil panen. Cinta sesama diantara orang Yahudi mengharap suatu timbal balik (pamrih). Kita sering mendengar bagaimana Yahwe harus dihormati karena Dia memimpin Israel keluar dari Mesir masuk dalam kebebasan, dan Dia menjanjikan suatu hidup dan kebahagiaan sebagai suatu ganjaran. Cinta sesama dikaitkan dengan ketakutan kepada Allah. Dari ketakutan kepada Allah tersebut, seseorang akan mengharapkan yang baik jika dia sendiri pernah melakukan hal yang sama. Dalam kitab Ulangan ada suatu dekrit yang terkait dengan suatu janji, ”Kamu layak dan menjadi bahagia...  Allah yang menjaga perjanjianNya dengan penuh belaskasih pada seribu keturunan” (Ul  6;7).

Meskipun begitu, perumpamaan Orang Samaria yang baik memberikan suatu gambaran yang berbeda secara menyeluruh atas cinta sesama.  Tokoh utama dalam cerita itu adalah seorang Samaria, seseorang yang tidak baik dalam pandangan Yahudi; orang Samaria itu memberikan  contoh kepada  imam dan orang Levi apa yang dimaksud dengan siapa “sesama” itu. Seorang asing tergeletak hampir mati di tengah jalan; dia telah ditelanjangi dan dipukul oleh perampok.  Apakah orang asing yang lewat di jalan itu adalah saudara kita. Apakah tindakan orang Samaria itu menguntungkan? Akan kah pemilik penginapan menolong menyembuhkan korban? Apa yang terjadi pada Orang asing itu yang berada dalam kesulitan dan pada orang Samaria menunda perjalanannya untuk memperhatikan kebutuhan manusia. Kristus menghadirkan situasi Yudaisme pada tempatnya.

Apa yang kita pelajari tentang cinta sesama lewat perumpamaan tadi? Dan kapan kita dapat menyebut  cinta kasih kristiani sebagai – Karitas?

Karitas merupakan bentuk cintakasih Kristiani yang  tanpa syarat dan tak terbatas. Cinta kasih ini diberikan untuk kita semua, disemua tempat dan dalam seluruh keadaan. Kita harus mencinta tanpa adanya paksaan. Cinta orang Samaria itu melampaui philia, cinta kekeluargaan, maupun cinta emosional. Cintakasih yang murni melampaui semua alasan. Cintakasih tidak dibatasi oleh Hukum dan berada diatas hukum. Cintakasih memperkuat apa yang telah dikatakan oleh Kristus tentang hukum, bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Cintakasih Kristiani secara total tidak berpihak. Sesama dicintai karena diri sesama itu sendiri. Bahkan jika dia tidak membutuhkan atau ketika dia butuh pertolongan itu sudah lewat (dimasa lampau), kita tetap harus mencintainya. Filosof Yahudi, Emmnuel Levinas menggambarkan sikap ini dengan mengatakan, ”Wajah orang lain adalah sesuatu yang layak untukku (The face of the other poses an ethical imperative to me).  Wajah orang bisu yang kebetulan kita temui menimbulkan pertanyaan bagi kita. Akankah kamu menolong aku; maukah kamu memperlihatkan cintamu padaku? Kita bebas untuk mengabaikan wajah dan pertanyaan itu, tapi reaksi kita akan menjadi ukuran kepribadian dan tingkat kemanusiaan kita. Pemunculan wajah orang lain yang menjerit meski tersirat menjadi suatu perintah, suatu tuntutan yang mana saya tidak dapat mengatakan tidak sebagai manusia jika saya dapat berbuat sesuatu. Tidaklah berarti bagiku untuk mengatakan ya tapi orang lain tidak diuntungkan oleh kehadiranku, maka aku akan menghentikan sejenak perjalananku karena dia ada di sana. Dalam situasi yang putus asa dimana tidak ada jalan keluar, aku akan tetap berusha menolong dan memperlihatkan kasih karena salah satu dari orang itu adalah sahabat, dan dia adalah keluargaku.

Karakter lain dari Karitas adalah tidak menuntut imbalan. Saya tidak mengharapkan suatu imbalan bahkan ucapan terimakasih.  Banyak dari kita melakukan sesuatu dengan mengharapkan suatu imbalan. Kita tidak dapat memiliki sesuatu untuk sesuatu. Karitas merupakan suatu hal yang spontan, bahkan jika kita dilupakan, kita akan masih memberikan cinta itu. Dalam perintah, ”Cintailah musuhmu”, sikap memberi tanpa harapan untuk mendapatkan imbalan merupakan bentuk kehadiran yang kuat, karena kita mengambil resiko secara serius untuk terluka, menjadi korban dari kebaikan kita sendiri. Sikap seperti itu sering disebut dengan “kelemahan”, padahal sebutan itu karena kurangnya kekuatan: dalam mengasihi para musuh. Cintakasih tidak menolak serangan oleh serangan, bahkan  setan oleh setan. Lingkaran setan dihancurkan oleh kekuatan cinta kita; bahkan suatu serangan yang muncul karena kelemahan kita. Dimanakah ada merpati perdamaian untuk dewasa ini, atau dimanakah ada meriam yang menyemburkan bunga mawar? Disadari atau tidak disadari kasih kepada sesama mempunyai pengaruh kepada dunia ini.

Ketidakterbatasan, kelembutan, tanpa mengharapkan imbalan – merupakan cintakasih Kristiani atau karitas dalam ketakterbatasannya. Bagaimana dengan tugas mencintai yang tanpa batas? Dapatkah kita menghidupi karitas secara radikal untuk mencintai tanpa mrasa jadi korban atau dihantui oleh frustrasi dari kegagalan sesaat?


AGAPE AKAN MENGILHAMI KITA DAN PHILIA MENDORONG KITA, TAPI CINTA YANG TAK TERBATAS INI, DILUAR KEKUATAN MANUSIA.

Kristus tahu, dan dari situ Dia membentuk cinta sesama dalam cara hidupnya yang disebut dengan “karya belaskasih”. Ketika sang pembawa pesan, Yohanes Pembaptis menanyai Yesus Apakah Dia Mesias yang datang, Dia yang ada dalam sabda para nabi: ”Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitakan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.”(Mt. 11:5). Ketika Yesus mengirim 12 rasul untuk misi mereka, Dia mengatakan kepada mereka:”Sembuhkanlah orang sakit, bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma”(Mt.10:8). Dalam Mat. 15:30-31 kita membaca: ”Yesus...pergi ke atas bukit.... sekelompok orang datang kepadaNya, bersama dengan yang lumpuh, buta, cacat dan masih banyak yang lainnya.....”. Mereka berada di kaki Yesus dan Dia menyembuhkan mereka.” Dengan kriteria yang mana kita akan diadili pada Hari Terakhir merupakan karya cintakasih: ”Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku, ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Mat. 25:35-36), dan dengan melakukan hal ini kepada orang miskin, kita melakukannya untuk Allah,” Amin. Aku berkata kepadamu, apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Mt. 25:40).

Yesus identik dengan orang yang paling miskin, yang terkecil di antara manusia sehingga perintah pertama terkait dengan perintah kedua tentang Karitas. Allah bukan saingan manusia; cinta kita yang eksklusif kepada Allah diandaikan menjadi suatu cinta yang eksklusif bagi yang lain. Cinta Allah dan cinta sesama adalah satu dan dalam tingkat yang sama, disatukan bersama. Tradisi Kristiani dapat memahami dengan baik masalah ketidakterbatasan dan kelembutan, dan dari pemahaman itu, memformulasikan  belaskasih sebagai suatu daftar ganda yang menemui banyak hal dalam mengutuhkan dan memenuhi kebutuhan spiritual jemaat. Daftar ini tidak mengalihkan radikalitas perintah untuk mencintai sesama tapi membuatnya lebih dapat diatur. Tujuh karya badani dari belaskasih adalah: memberi makan bagi yang lapar; memuaskan yang haus; memberi pakaian bagi yang telanjang; memberi tumpangan bagi orang asing; mengunjungi yang sakit; menjenguk para tawanan; menguburkan yang mati. Mereka melakukan tindakan yang konkret, bahkan apa yang berguna bagi jemaat dikerjakan oleh mereka. Mereka menjaga kita untuk menghidupi perintah-perintah tersebut secara teoritis dan spiritual. Mereka mengajak kita untuk mempraktekkan apa yang kita khotbahkan. Enam dari karya tersebut merupakan kriteria pengadilan terakhir seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci; yang ketujuh ditambahkan untuk memperlihatkan bahwa Karitas tidak hanya diperhitungkan dengan menuntut suatu imbalan, karena bagi orang yang sudah meninggal yang kita kuburkan maka dia tidak dapat mengucapkan terimakasih kepada kita tapi memperlihatkan kepada kita belaskasih secara timbal balik Dalam pemakaman,orang mati tidak dimatikan, tetapi kemanusiaannya mempunyai suatu peranan – manusia tinggal manusia diluar kubur; dari sana dia layak diberi hormat. Jika karya pertama dari enam karya kasih memberikan suatu kesempatan yang berguna, menguntungkan, timbal-balik, maka yang ketujuh secara mutlak terlepas darinya. Dengan semangat, kita harus melakukan karya cintakasih jika kita menginginkan karya cintakasih dalam suatu kebenaran Sabda Allah (Bdk. Nilai inkarnatoris).

Gereja menambahkan suatu daftar karya spritual belas kasih. Karya belaskasih merupakan suatu tindakan yang  memperlihatkan sikap dasar kita bagi sesama: mengajar yang bodoh; menasehati yang ragu-ragu; memberi penghiburan bagi yang tertekan; mengampuni pendosa; menghasilkan buah-solusi dalam kesulitan; pengampunan atas penghinaan; mendoakan mereka yang hidup dan yang mati.  Tujuh karya itu menarik perhatian kita kepada suatu kenyataan bahwa ketika kita melakukan yang terbaik dalam diri kita untuk mencintai sesama (mencintai secara kodrati saja), kita masih sedikit gagal dalam tuntutan akan cinta; tapi kita masih dapat berdoa untuknya, bagi yang hidup dan yang mati. Doa menyatukan dengan Allah sehingga Dia memenuhi apa yang kurang dalam tindakan kita sebagai manusia. Keempat karya belaskasih sebagai tanda untuk menolong kita menghidupi perintah yang kedua sebagai individu yang percaya dan sebagai komunitas, selalu dengan keyakinan bahwa Karitas hanya dapat ada jika disatukan dengan Agape.

Melalui sejarah, karitas telah diterapkan secara berbeda. Istilah “karya belaskasih” digunakan dalam tahun-tahun terakhir ini tapi kita mungkin bertanya karitas yang benar telah di keluarkan bahkan telah dihianati. Banyak sesuatu yang harus dikerjakan dengan perhatian terhadap mereka yang miskin dan sakit yang disebut dengan Cintakasih/Karitas; lembaga yang memperhatikan orang sakit dan miskin disebut dengan lembaga”karitatif”, jika semua tempat diilhami oleh Cintakasih dan jika Cintakasih terbatas pada perhatian terhadap yang sakit dan miskin. Kita harus hati-hati ketika menggunakan kata Cintakasih, Janganlah kita melemahkan artinya tetapi kita harus mendorong mereka untuk mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh inti dari iman itu sendiri. Perintah mencintai tidak setengah hati tetapi memanggil kita untuk komitmen secara radikal (dengan sepenuh hati). Karya kita diluar kekuatan manusiawi kita karena cinta sesama mengambil intinya dari cinta Allah. maka dari kita, kita harus berdoa dengan lebih baik kepada Allah: ”Penuhilah karya yang Engkau telah mulai dalam diri kami.”


KARITAS:  SEJARAH SEPANJANG ZAMAN


Seruan perintah cinta kepada Allah dan mencintai sesama seperti diri kita sendiri dalam Injil telah berjalan dalan jangka waktu dua melinium. Sepanjang waktu orang berusaha untuk menyadari perintah Allah dalam keadaan mereka masing-masing. Melihat kembali pada sejarah, kita harus melihat bagaimana mereka menerapkan karitas, dan kita mempertimbangkan beberapa sosok utama karitatis dengan baik dan bagaimana Bruder Karitas menghidupi kharisma cintakasih mereka pada zaman ini.


3.1. KARITAS, SEBUAH SEJARAH PANJANG

Untuk mengetahui lebih baik praxis karitas, kita melihat secara lebih dekat periode dimana karitas telah memberikan bentuk dan caranya yang kadangkala tidak jarang menyimpang dari penerapan yang ideal dari perintah mencintai.


3.1.1. KARITAS  DALAM  GEREJA  AWAL

Dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat dalam Perjanjian Baru memberikan kepada kita suatu gagasan bagaimana komunitas awal Kristiani  mewujudkan  pesan Kristus dalam bentuk yang konkret. “Mereka membaktikan diri mereka pada ajaran para rasul dan pada hidup bersama, memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Tugas-tugas dibagikan agar para diakon menjaga penyaluran makanan harian seperti yang para murid lakukan,:dan para Rasul tetap dalam pewartaan Sabda: “tidak baik bagi kami melalaikan sabda” (Kis 6.2). Gereja awal mulai mengorganisasikannya sehingga semua tugas dapat terselesaikan. Dukungan yang diberikan kepada kaum  miskin bukanlah ‘karitas’ seperti yang kita kenal saat ini akan tetapi dalam perjalanan waktu hal itu diidentikkan dengan karitas atau mempersempit arti karitas itu sendiri; Karitas menjadi bentuk karya belaskasih seperti yang disebutkan  oleh Matius selama Hari Terakhir (scene of the last day). Tapi Karitas lebih dari suatu karya baik yang diterapkan pada mereka; karitas adalah cinta dengan mana dan dalam hal mana karya-karya itu dikerjakan dan menjadi ciri mereka dalam karya cintakasih itu. Agustinus menekankan tentang cintakasih dalam tulisan-tulisannya, dan menolak cinta untuk kesombongan: ”Allah memberi makan yang lapar”, kita bangga melakukan yang sama. Memberikan pakaian bagi yang telanjang; kita bangga pada hal yang sama. Belaskasihan merupakan keramahtamahan, dan juga kebanggaan. Perbuatan luar tidaklah berbeda. Hanya cinta yang membedakan anak-anak Allah dari anak-anak setan. Semua dari mereka mungkin melakukan pengorban dengan pergi ke Gereja, mendirikan Basilica (gedung gereja), hanya cinta yang akan memutuskan apa mereka anak Allah atau mereka anak setan. Siapa yang mencinta dilahirkan dari Allah, siapa yang tidak memiliki cinta tidak dilahirkan dari Allah. Cinta adalah tanda utama, faktor yang menentukan,”(Augustine, ”Sermon on the First Letter of St. John”).




APA YANG DIAJARKAN OLEH KOMUNITAS  KRISTEN  KEPADA KITA?


Mereka menunjuk kepada dua bahaya: pertama, bahwa Karitas adalah kewajiban setiap orang, Dan karitas tidak mungkin diwakilkan saja pada sejumlah orang yang percaya untuk mengkhususkan diri dalam cintakasih sehingga yang lain dapat terhindar dari pelaksanaan cinta sesama. Ketika para diakon ditunjuk untuk menyalurkan pembagian makanan, para Rasul mempunyai penghayatan serupa, tapi implisit.  kedua, Karitas tidak dimaknai hanya dengan suatu perbuatan yang disebut dengan karya belaskasih, yang juga disebut karya-karya cintakasih, sementara motivasinya jauh dari cinta yang murni tapi sibuk dengan persoalan gengsi dan kebanggaan, seperti dikatakan oleh St. Agustinus.


3.1.2. KARITAS  PADA  ABAD  PERTENGAHAN

Dalam periode ini, Gereja menguasai praktek-praktek karitas, khususnya kaum clerus dan kaum religius mempunyai organisasi karya karitatis.  Di setiap kota di Eropa Tengah, muncul institut-institut sekular yang memperhatikan pertolongan  untuk orang sakit dan orang miskin sementara Para Bruder dan Suster secara nyata melayani fakir miskin.  Kita mengenal Suster dan Bruder pengelola rumah sakit, Suster Hitam, Suster Abu-abu, kelompok Bruder, beguines dan Beghards – mereka semua adalah kelompok religius yang terlibat dalam pengurusan fakir miskin dan perawatan orang sakit. Kaum ningrat dan rakyat biasa melakukan bagian mereka dengan memberikan sumbangan dan bantuan bagi kaum fakir miskin.

Pembagian tugas ini dapat diterima dalam terang doktrin tentang Tubuh Mistik Kristus yang mana setiap anggota mempunyai peranan khusus untuk berperan serta didalamnya.. Tapi ada bahaya yang beranggapan bahwa orang Kristen merasa bebas dari karya cintakasih. Dalam pandangan ini, kita menginterpretasikan reaksi St. Vinsensius A Paulo ketika dia (1581-1660) memperkenalkan cinta sesama, dan memanggil setiap orang untuk ambil bagian dalam cinta sesama, pertama-tama seluruh kaum ningrat yang kaya yaitu French Court, akan menghabiskan sebagian waktu dan kekayaan mereka untuk kaum miskin. Pada abab 17 banyak orang yang terpinggirkan, kita mungkin menyimpulkan bahwa perhatian terhadap kaum miskin pada abad pertengahan telah hancur. Terdorong oleh Karitas, Vinsensius bersama dengan St. Fransiskus de Sales yakin bahwa seluruh umat beriman dipanggil untuk menyucikan diri mereka sendiri dengan karya karitatis. St. Vinsensius menemukan komunitas religius yang baru yang dimaksudkan untuk memberikan perhatian kepada yang miskin dan yang sakit.


KARITAS  PADA  ABAB 19


Kita maju ke depan yaitu pada abab 19, sesudah Revolusi Perancis yang merupakan suatu masa kebangkitan, begitu mengagumkan, Gereja mengalami perubahan yang begitu hebat. Karena Gereja telah dikuatkan setelah mengalami masa surut selama Revolusi Perancis, sesudah tahun 1802 kesatuan mendapatkan tempatnya, khususnya perhatian kepada orang miskin dan perawatan kepada yang sakit. Ini merupakan suatu wilayah dimana para penguasa dalam kekuasaannya yang ketat dan mereka merasa sangat bahagia meskipun mereka agak anti terhadap para clerus, ketika mereka bertugas atas pelayanan dari Gereja dalam bidang ini.

Salah satu faktor yang membuat berhasilnya Konggregasi ini yaitu dalam segi spiritualitasnya, yang mengajarkan bahwa kesucian dan keselamatan dapat diperoleh dengan pemurnian seseorang dihadapan Allah. Karya karitatis merupakan sesuatu yang baik bagi kaum religius untuk menghapus dosa mereka dan untuk bekerja bagi karya keselamatan. Cintakasih adalah jalan keselamatan dan memperoleh ganjaran surgawi. Dimana seseorang dapat melakukan sesuatu dengan lebih aman selain dalam suatu biara? Ini merupakan bentuk spiritualitas yang tetap dipertahankan sampai konsili Vatican II (1965), dan semakin diperluas oleh konggregasi kerasulan dan persaudaraan dari “lembaga Karitatif”.

Ketika kita menanyakan inti Karitas yang hidup dalam periode ini, kita harus mengenal orang-orang yang bekerja secara tulus dan mempelihatkan comitmen yang begitu mengagumkan untuk pengembangan karya karitatis – suatu petunjuk yang positif. Meskipun kita mempunyai ungkapan bahwa beberapa orang merasa dirugikan karena Karitas itu sendiri karena Injil dilihat dalam fungsi keselamatan jiwa.  Sepi pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan tidak ada secara esklusif. Saya tidak mau bersikukuh atas karya religius yang banyak dilakukan oleh mereka selama abad pertengahan dalam pelayanan terhadap sesama dan dengan tulus tidak mengharapkan imbalan yang menurut pendapat saya agak menunjuk kepada  hal-hal yang mana  caritas itu telah diterapkan.


KARITAS  DARI  TAHUN 1960

Angin perubahan bertiup dalam Gereja dan masyarakat, dari tahun 60-an, yang mempertimbangkan  karya karitatis secara umum dan karya kesehatan secara khusus.

Selama Konsili Vatikan II, gambaran tentang Gereja dikembangkan dengan penekanan khusus atas Umat Allah, sementara aspek hirarkis kurang mendapat penekanan. Tugas pastoral dipercayakan kepada setiap orang dan pelaksanaan cintakasih tidak hanya dimonopoli oleh kaum religius. Panggilan dan misi kaum awam ditekankan:”panggilan khusus kaum awam berisi pencarian mereka terhadap kerajaan Allah melalui perhatian mereka akan hal-hal yang bersifat duniawi dan dengan urusan mereka  menurut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, dalam berbagai profesi duniawi yang beraneka ragam dan mereka bekerja dalam konteks masyarakat dan keluarga. Disana ada panggilan untuk ambil bagian dalam penyucian dunia dengan pemenuhan tugas mereka, diilhami oleh semangat Kitab Suci, sebagai suatu ragi batin (Lumen Gentium No. 13).

Kaum religius digambarkan sebagai seseorang yang disatukan dengan Allah, merupakan suatu persatuan persaudaraan dan manifestasi dari kasih Allah bagi manusia diatas bumi (diambil dari “vita Consecrata”). Cintakasih merupakan tugas kaum religius tapi mereka harus ambil bagian dalam cinta kasih dengan seluruh umat beriman yang juga bekerja untuk menyucikan dunia. Tugas ini merupakan suatu suara baru bagi kaum religius yang disebabkan oleh suatu krisis identitas dalam diri mereka yang kadangkala mengaburkan panggilan mereka. Suatu kilas-balik (feedback) dari suatu proses pembaharuan dari Konsili Vatikan II.


BERBICARA TENTANG TOKOH-TOKOH YANG BERBELAS KASIH


Kita telah memilih lima orang, yang menurut pandangan mereka sendiri, menyadari cintakasih dalam jalan mereka sendiri. St. Vinsensius A Paulo (1581-1660) seorang Imam dari Perancis yang dipandang sebagai pelindung cintakasih; Peter Joseph Triest (1760-1836), disebut sebagai Vinsesius dari Belgia dan pendiri Empat Kongregasi cintakasih. Ibu Theresa dari Calcuta (1910-1997) yang memperbaharui dunia cintakasih melalui hidup dan karyanya diantara orang termiskin di India. Abbe Pierre, yang mendirikan Komunitas Emmaus di Perancis; akhirnya Jean Vanier, yang menaruh perhatian pada yang cacat dan memperkenalkan Komunitas Bahtera Nuh.


VINSENSIUS A PAULO  (1581-1660)

Sesudah proses pertobatan batin, Visensius dapat menjalankan pandangannya atas cintaksih pada abad 17 di Perancis. Diawali dengan baik sebagai Imam Paroki, Vinsensius dihadapkan dengan begitu banyak kemiskinan baik kemiskinan jasmani maupun kemiskinan rohani. Vinsensius memberikan penyelesaian secara Evangelical terhadap dua masalah tersebut.

Vinsensius mendirikan Kongregasi Misi (CM) untuk memenuhi kebutuhan rohani para Imam dan kebutuhan rohani warga desa di daerah Perancis, Vinsensius datang memberikan pertolongan kepada orang miskin melalui Kongregrasi Suster Puteri Kasih (PK) yang didirikan olehnya. Vinsensius memperbaharui jalan cintakasih dalam semangat Injil:  Kemiskinan bagi diri sendiri mengajarkan kepada dia bagaimana menerapkan cintakasih; Vinsensius belajar dari orang miskin bagaimana dia harus mengarahkan suatu sikap kepada orang miskin - Orang miskin adalah tuan dan gurunya, yang harus dilayani dengan cinta.


MENCINTAI KRISTUS DENGAN MELAYANI-NYA DALAM KEMISKINAN JASMANI DAN ROHANI

Menurut St. Vinsensius, melayani kemiskinan merupakan kelanjutan dari Misi Kristus di bumi ”Ketika kamu melayani yang miskin dengan kebaikan, kelembutan dan hormat, kamu menghadirkan Allah di antara mereka. Lakukan apa yang telah Allah lakukan, dan seperti Allah yang melakukannya sendiri.” Sesuai dengan sikap ini, Vinsensius mengembangkan pandangannya atas kemiskinan dan menyadari suatu bentuk baru dari Karitas. Vinsensius menyebut orang miskin sebagai tuan dan gurunya, karena dia mengidentikkan orang miskin dengan Kristus: ”Apa yang kamu lakukan untuk saudaraKu yang paling kecil ini, kamu telah melakukan untuk Aku” (Mat. 2:25), merupakan suatu bagian pokok dari Injil bagi Vinsesius. Vinsensius menulis:” Aku tidak boleh menilai orang miskin atau wanita miskin karena penampilan atau kepintaran mereka. Sebagian orang menganggap yang miskin sebagai figur kekasaran, juga mengukur dari keadaan fisik dan kemampuan intelektual mereka. Tapi disana juga ada sisi lain.  Dalam terang iman, kamu mengenal Putra Allah yang menjadi miskin dan itu diwakili oleh orang miskin.

Tapi Vinsensius tidak menutupi situasi kemiskinan; dengan melayani yang miskin, Allah sendirilah yang dilayani. Dia menyebut kaum miskin sebagai gambaran Kristus.  Dengan sikap hidup yang radikal dan konsekuen ini, Vinsesius mengangkat pelayanan kepada yang miskin pada tingkat yang lebih rohani.  Ketegangan antara doa dan karya terpecahkan, karena segala sesuatu adalah doa: ”Jika kamu dipanggil dengan mendadak untuk membantu pasien sementara kamu sedang berdoa, berhentilah berdoa untuk melayani dan kemudian lanjutkan berdoa lagi.  Allah menghendaki hal itu karena cinta melampaui semua segala obat. “Meninggalkan Allah karena Allah. Jika kamu harus meninggalkan doa dan pergi membantu pasien maka lakukanlah. Kamu meninggalkan Allah untuk pergi kepada Allah; kamu akan menemukan Allah kembali dalam diri pasien itu sendiri. Jika kamu pergi kepada orang miskin sepuluh kali sehari, maka kamu akan menemui Allah sepuluh kali juga. Jika kamu pergi ke daerah kumuh, Allah ada disana.

Tapi Vinsensius memberikan suatu peringatan kepada kita dengan berkata: ”Meninggalkan Allah karena Allah” bukan alasan untuk melalaikan Allah, karena hal itu keluar dari cinta Allah bahwa kita dapat berjalan atas kasihnya kepada yang miskin.” Berbicara secara manusiawi, kamu akan mengadakan perjamunan makan untuk itu, karena Allah telah menolongmu, baik secara philosophis maupun secara teologis akan berakibat bagi kedalaman kodrat manusiawi.  Yesus Kristus bekerja dengan kita, kita dengan Dia. Marilah kita bertindak dalam dan melalui Dia; marilah kita membicarakan Sabda-sabda-Nya dan hidup dalam semangat-Nya. Maka dari itu, menjadi terbuka dan mau bersifat menerima untuk memakai diri kita sendiri dengan Roh-Nya.


DENGAN CINTA YANG AFEKTIF DAN EFEKTIF


Cinta Vinsensius pada orang miskin merupakan cinta yang efektif dan afektif, ada semacam keterkaitan. “Cinta Afektif bersumber dari hati dan terlihat dalam kelembutan. Kita harus mencintai Allah dengan tulus dan Cinta Efektif berangkat dari situ. Maka kita dapat mencintai yang lain dengan Cinta Afektif yang meliputi apa yang kita sayangi / ingini dan Cinta Efektif dengan membuat apa yang kaum miskin butuhkan. “Marilah kita mencintai Allah dengan kekuatan kita dan dengan kemanisan wajah kita. Cinta Affektif tidak dapat dipercaya jika tidak berasal dari Cinta Efektif.”

St. Vinsensius memainkan dua sisi cinta yaitu pada aspek sebab dan akibat. Pada saat yang sama dia menuntut cinta yang Realistis. Dia menghubungkan cinta dengan keahlian sebagai suatu ungkapan penerapan dari cinta.  Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1657, dia memberikan nasehat kepada Suster Puteri Kasih, bagaimana merawat yang sakit dan miskin; sesudah mencintai Allah dan keinginan untuk melakukan kehendak-Nya; melayani yang miskin dan yang sakit merupakan perhatian para Suster PK. Perlakukanlah yang miskin dan yang sakit dengan lembut dan dengan hati.  Menderitalah dengan mereka dan dengarkanlah keluhan mereka seperti seorang ibu biasa lakukan; orang miskin memilih kamu menjadi ibu mereka yang dikirim Allah untuk datang dan membantu.  Kamu dipanggil untuk merasakan kebaikan Allah, karena Allah mengelilingi penderitaan manusia dengan kelembutan dan cinta, kamu harus memperlakukan yang miskin dan sakit dengan kebaikan seperti yang Allah telah ajarkan kepada kita,  misalnya dengan kelembutan, kasih dan cinta karena mereka adalah gurumu dan milikku.  Sungguh mereka adalah tuan dan guru kita. Kamu harus melayani Allah secara nyata dalam diri si Sakit. Maka dari itu, hindarilah semua kekasaran dan ketidaksabaran, tapi berbuatlah dengan sangat baik dan bersahabat dalam kedekatanmu bahkan dalam hal yang sangat sukar dan sulit dipercaya.

Pada zaman Vinsensius, hal tersebut sungguh berbeda dari jalan kesombongan untuk menolong karena dipanggil dengan cintakasih. Penekanan Vinsensius atas cinta ditujukan untuk memberi Karitas pada wajah kemanusiaan. Perhatian kepada  yang miskin selalu berakibat menjadi kesombongan kecuali fakir miskin mendapatkan prioritas dan pendekatan dilakukan dengan cinta. Dasar gagasan ini diperlihatkan dengan tajam dalam adegan terakhir dalam Film ”Monsiur Vinsent”. Ketika Vinsensius yang telah tua memberikan nasehat kepda novis muda Jeanne sebelum kunjungan pertamanya kepada yang miskin: ”Jalan akan sangat panjang, tangga harus ditapaki dan orang miskin kadangkala tidak tahu berterimakasih. Jeanne, kamu akan segera menyadari bahwa cinta sesama merupakan beban yang begitu berat untuk dibawa daripada sepanci soup dan sekeranjang roti (Disini dia membuat suatu perbedaan antara melakukan karya amal dan Karitas Kristiani aktual yang mengilhaminya), tetaplah tersenyum dan baik hati.  Dalam keadaan apa pun meskipun kamu tidak dapat memberikan soup dan roti, dalam hal memberi materi yang kaya dapat melakukannya dengan baik. Tetapi kamu adalah pelayan kesederhanaan bagi yang miskin. Mereka adalah gurumu yang dapat menjadi sangat sederhana, dan kamu akan mengalaminya segera. Mereka itu menjijikan dan kotor, tidak mendapatkan keadilan dan kasar, tetapi kamu harus mencintai, kamu harus memperlihatkan cinta yang lebih besar kepada mereka.  Hanya karena cintamu, hanya karenanya sehingga yang miskin akan mengalami itu, persembahkan rotimu kepada mereka.

Pandangan singkat Vinsensius tentang cinta: Orang miskin adalah tuan dan gurumu yang kepadanya kita harus melayani.


“DAVANTAGE” – SELALU LEBIH LAGI


Menjelang akhir hidupnya, St. Vinsensius selalu diberikan ucapan selamat atas karyanya yang besar yang telah ia berikan, tetapi dia bereaksi dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan belumlah apa-apa sehingga dia harus melakukan yang lebih banyak lagi. “Davantage” merupakan kata yang dipakainya, dan jika umat ingin menghormati Vinsensius, mereka harus memindahkan rasa hormatnya kepada Allah atau saudara-saudaranya yang mana kepadanya Allah telah mengijinkannya untuk bertemu. Kerendahan hati dan kesederhanaan adalah dua keutamaan yang dikaitkan dengan Karitas untuk mewujudkan tiga kaul.


PETRUS JOSEPH TRIEST (1760-1836)

Imam Paroki yang sederhana ini mendirikan empat Kongregasi Religius pada zaman yang penuh peristiwa dan pada situasi yang menyulitkan.  Dia bergerak melalui proses pertumbuhan untuk mencapai kedewasaan penuh, sementara dia hidup dalam persembunyian sebagai Imam “buronan pemerintah penjajahan Perancis” di Ronse dari tahun 1797 sampai 1802.  Sesudah periode hidupnya ini, banyak hal yang diperbuat oleh Romo Triest dan dia tidak berkata tidak pada tuntutan yang dikenakan atasnya. “Digerakkan oleh Cintakasih’, ”Triest sangat mirip dengan St. Vinsensius A Paulo dalam melaksanakan Karitas, hal ini bukanlah kebetulan karena dia dipanggil Vinsensius A Paulo dari Belgia pada saat kematiannya.


APA YANG MENJADI KARAKTERISTIK SPIRITUALITAS CINTA DARI ROMO TRIEST?


Pandangan Triest atas Manusia


PJ. Triest melihat diri manusia sebagai gambaran Allah.  Manusia penting baginya karena dia mengenalnya sebagai ciptaan Allah yang mana keselamatan telah dibawa sehingga dia mengalami kegembiraan kebangkitan. Manusia sebagai ciptaan yang diselamatkan. Kepercayaan yang begitu mendalam kepada manusia memungkinkan Triest untuk menjalankan dalam dirinya sendiri totalitas pengabdian kepada sesama untuk membuatnya ambil bagian dalam kegembiraan ciptaan, penebusan dan kebangkitan.  Dengan memperbaiki kehidupan fakir-miskin, dia membawa mereka lebih dekat pada gambaran Allah, keselamatan dan kebangkitan dalam Kristus.

“Apakah itu tidak menciptakan dunia baru, menciptakan sinar matahari-harapan? Apakah itu tidak membangkitkan mereka dari jurang kematian?” Ini merupakan bagian dari khotbah yang diberikan oleh Triest sebagai bukti atas pandangannya yang ingin ambil bagian dengan sesama yang membutuhkan. Itu merupakan pandangan yang ia miliki atas orang-orang yang ia cintai dan ia ingin menolongnya tanpa pandang bulu. Banyak keadaan yang melukai manusia sebagai gambaran Allah, yang membentuk suatu hambatan untuk penyelamatan dan digelapkan dari kenyataan kebangkitan manusia, menjadi alasan yang baik bagi Triest untuk bertindak, menjadi dekat dengan sesama dan memberi bantuan kepada sesama. Pada zaman itu, memperbaiki kondisi fisik, menyembuhkan yang sakit  selalu ditujukan untuk pencapaian pemenuhan ciptaan, penyelamatan dan kebangkitan manusia. Cinta kepada sesama diarahkan untuk memperbaiki, mengangkat  kualitas hidup, membuatnya mengalami yang ia alami sebagai ciptaan yang diselamatkan dan dimaksudkan untuk menghidupi suatu hidup yang lebih baik.

Cinta sesama yang ditunjukkan oleh Triest mencerminkan penghormatan pada sesama secara mutlak, yang menjadikan dia disisihkan oleh masyarakat. Pembaktian dirinya kepada yang sakit mental, yang dilupakan dan yang diabaikan pada waktu itu merupakan bukti kuat atas penghormatannya pada sesama yang tak bersyarat.

Dari penghormatan itu, muncullah rasa simpati yang mendalam dalam dirinya dengan  keadaan sesama. Perasaan kasih merupakan suatu kualitas yang mengiringi perbuatan cinta Triest. Perasaan kasih jika dipasangkan dengan cinta dapat menyuarakan suatu sifat kebapakan. Lebih jauh, Karitas Triest berjalan bersamaan dengan keahlian, perhatian terhadap lingkungan dan organisasi yang dikembangkan sebagai konsekuensi logis atas cintanya.  Ketika kita mencintai seseorang, kita mencoba memberikan kepadanya hal terbaik yang kita miliki; Triest juga melakukan hal yang sama dalam cara yang profesional. Ini sebagian bukti bahwa dokter ambil bagian dalam penanganan orang yang  sakit mental sementara para Bruder diminta untuk mengembangkan pengetahuan mereka dalam bidang perawatan. Juga dalam bidang pendidikan anak cacat, para Bruder perlu belajar tentang pendidikan bagi yang tuli dan buta sejak zaman Triest.

Sebagai anggota Dewan seluruh Rumah Sakit di kota Ghent, Triest dikenal karena perhatiannya yang hidup atas pemulihan lingkungan material dan yang sakit pada zaman itu.  Pada setiap pertemuan, Triest meminta perhatian para anggota akan keadaan hidup yang tidak memadai bagi penghuni rumah sakit jiwa.  Cintanya untuk orang-orang ini mendorongnya untuk segera bertindak.

Triest juga yakin akan perlunya organisasi dan struktur yang layak untuk pelayanan kesehatan. Bersama dengan Dr. J. Guislain, dia menetapkan peraturan internal untuk dua rumah sakit jiwa di Ghent bagi pria dan wanita yang sakit mental. Dia mempunyai hubungan yang baik dengan semua orang, dan sikap ini diterapkan para Bruder dan Suster yang didirikan olehnya. Menurut Romo Triest, masyarakat luas memperlihatkan solidaritas yang baik. Dalam diri Triest, kita melihat semangat Vinsensius ”Davantage’ (selalu lebih). Ketika dia berumur 75 tahun, setahun sebelum meninggalnya, dia mendirikan kongregasinya yang ke empat, yaitu Kongregasi Suster dari Kanak-kanak Yesus, dia memperlihatkan kepercayaan totalnya dalam Penyelenggarakan Ilahi dan iman dalam diri para pengikutnya. Hanya orang yang dikendalikan oleh cinta sesama dapat menghasilkan kepedulian dan perhatian yang baik dan terus-menerus terhadap yang miskin.

Di atas ranjang kematiannya, dia meminta agar dibagi-bagikan roti untuk orang miskin pada saat penguburannya.  Data sederhana ini, ditemukan dalam Biografi pertama tentang Triest yang merupakan ungkapan cintanya pada sesama; dia selalu memperhatikan kebutuhan harian fakir-miskin dan kesejahteraan yang lain dengan sungguh-sungguh. Suatu sikap yang menghantar manusia diluar batas manusiawinya.  Sejarah mengungkapkan bahwa Romo Triest tertidur di atas kursi beberapa malam ketika dia meminjamkan tempat tidurnya untuk pasien yang sakit yang dirawat di Biara Ter Haegen di Ghent. Disana tidak ada hal yang perlu dikerjakan baginya, tetapi ketika cinta menjadi kata terakhir, tidak ada alasan untuk melakukannya. Triest melakukannya dengan dijiwai oleh semangat Karitas.


Cinta Sesama yang Inklusif


“Jangan biarkan seseorang hilang, karena aku mencintai mereka semua”, Kelimat tersebut dikatakan dan ditulis dengan semangat doa oleh Romo Triest. Cinta yang inklusif ini diungkapkan dengan keterbukaan terhadap sesamanya yang tanpa batas. “Panggillah aku kapanpun kamu mau”, dan jangan takut mengganggu, karena aku merasa bahagia ketika aku dapat memberikan waktuku padamu bahkan hidupku sendiri”, kata Romo Triest di depan umat parokinya di Ronse. Kesiapan yang sama ini dimaksudkan untuk menghadapi beberapa bahaya karena kebesaran hatinya nampak dalam keberanian Romo Triest saat memberikan Sakramen perminyakan bagi istri dari Kepala Polisi Perancis di Ronse; dengan sadar, Romo Triest  melaksanakan tugas itu meski berisiko dirinya akan ditangkap karena ia adalah “buronan” polisi penjajahan Perancis.

Perintah Yesus untuk mencintai musuh-musuhmu dipraktekkan oleh Triest, dia menyatakan dengan terbuka di atas mimbar dalam khotbah pertamanya di Paroki Ronse bahwa dia memaafkan musuhnya: ”Aku memberikan ciuman cinta persaudaraan,” merupakan pesan kuatnya ketika menetap di Ronse, dan merupakan hal yang biasa bagi Triest untuk selalu menyediakan waktu untuk setiap orang, siap memberikan sakramen pengampunan, memberikan perhatian yang khusus bagi mereka yang terlantar - tidak dikenal – sikap-sikap tersebut merupakan karakter khas dari Triest bagi para yatim piatu, yang sakit mental dan yang hilang.  Orang-orang yang bagi mereka matahari tidak bersinar dan bumi tidak menghasilkan bunga (tidak ada harapan-kegembiraan hidup) dan hanya dihadapkan dengan semak berduri -  ia menyediakan bagi mereka sebuah ranjang, yang   membuat tubuh mereka yang sakit dan terluka untuk beristirahat, luka mereka yang berbau dan kotor dirawat, diringankan beban mereka, tidakkah itu   menciptakan sinar matahari yang menghasilkan suatu dunia yang baru?.Bukankah hal itu mengangkat mereka dari jurang kematian?


SELURUH KARYA TRIEST DITUJUKAN UNTUK MEREKA YANG SANGAT MISKIN DAN TERLANTAR

Cinta sesama untuk perkembangan manusia


Persembahan sebagai ungkapan kegembiraan atas kebangkitan dinyatakan dengan memperbaiki keadaan hidup dan memberi perhatian kepada yang miskin. Perhatian Triest ini terkait dengan perkembangan manusia.  Dewasa ini kita menyebutnya dengan peningkatan taraf hidup. Triest ingin mengembangkan seluruh dimensi tuntutan hidup manusia. Dia memperhatikan penyakit mereka, mencari sesuatu yang layak untuk yang sakit jiwa, mencoba mengumpulkan kembali orang-orang dalam suatu komunitas dan tetap memperhatikan pelayanan pastoral untuk mereka, membantu mereka untuk menyadari arti kepenuhan hidup dalam religiusitas. Sementara itu, beberapa orang yang sezaman dengan Triest mengarahkan perhatian mereka kepada yang miskin dan yang sakit tetapi mengarah kepada yang baka.


Allah sebagai sumber tindakan Triest


Akhirnya Romo Triest menunjukkan apa yang menjadi sumber tindakannya. Salah satu hal yang dia katakan adalah ”Jika kamu telah lelah memberi maka pergi dan ketuklah pintu Allah.  Cinta yang murni hanya ditemukan pada-Nya.” Triest adalah manusia pendoa, khususnya saat ia dalam persembunyian karena ia dianggap “buronan oleh polisi penjajahan Perancis”. Doa yang teratur, bacaan Kitab Suci, bacaan Rohani lain ada dalam periode ini. Maka dia tergerak untuk hidup bagi sesama, dan akhirnya dia bergerak dengan para bruder dan suster yang didirikannya dengan menjadi seorang pendoa: ”Tetapkanlah sebagian waktu untuk berdoa, karena mnausia tanpa doa seperti tentara tanpa senjata.” Menurut Triest, agape dan karitas adalah dua sisi dari koin yang sama.


IBU  TERESA  DARI  CALCUTA  (1910-1997)

Lahir di Yugoslovakia dari orang tua Albania, Suster saleh ini merupakan wanita yang terkenal pada abad 20.  Dia masuk Kongregasi Suster dari Lorreto tahun 1928 dan dikirim ke India untuk mengajar di SMU Santa Maria di Calcuta. Pada tahun 1928, dia minta izin meninggalkan Kongregasi untuk hidup sebagai seorang religius diantara orang yang sangat miskin. Dia memulainya dengan Serikat Misionaris Cintakasih pada tahun 1950, yang anggotanya sekarang lebih dari 2000 orang yang tersebar di seluruh dunia, ia menyerukan pesannya yang sederhana tentang cinta bagi yang terlantar, dengan semangat totalitas yang kuat di tengah dunia.  Pandangannya tentang cinta diungkapkan melalui komitmen yang kuat terhadap yang miskin, dia mempertimbangkan tugasnya sebagai pemenuhan dari perintah cinta.


“Aku Haus”


Di atas sebuah salib di Kapel Misionaris Cintakasih di Calcuta, ada teks Injil (Yoh. 19:28) ”Aku haus”, itu merupakan salah satu dari kata-kata Yesus yang terakhir ketika Dia sedang sekarat di atas salib.  Kata-kata itu menghendaki kita untuk menjawab tuntutan cinta.  Kata-kata itu merupakan inspirasi bagi pandangan dasar Ibu Theresa.  Dia berkata: ”Umat manusia ada di sana sejauh di sana ada suatu generasi penerus dari serdadu yang dalam kegelapan pada jam tiga untuk memasukkan bunga karang dalam anggur dan mempersembahkannya pada suatu kesekaratan dunia, dan meletakkannya pada mulut Ilahi.” Malcom Muggeridge, salah satu penulis pertama tentang Ibu Theresa, mengatakan:”Tiap hari ibu Theresa menemui seorang Kristus yang bersejarah, suatu kesepadanan dalam istilah. Sebaliknya, Yesus tidak dapat bekerja daripada hidup sekarang ini dan dengan tinggal sekarang ini, menyebabkan waktu sekarang memperoleh keabadian. Bagi Ibu Theresa, dua perintah mencinta yaitu mencintai Allah dan sesama diwujudkan secara bersama sebab kedua perintah itu disatukan dengan yang lain dalam kesatuan mistik.  Hidup dan karyanya menggambarkan hubungan keduanya; jika kita tidak mencintai Allah, kita tidak mungkin bisa mencintai sesama, jika kita tidak mencintai sesama kita, tidaklah mungkin mencintai Allah.” Teks itu dengan jelas memberikan suatu gambaran motivasi dasar Ibu Theresa, dia pergi ke orang miskin dan diizinkan menemui dan mencintai Yesus dalam diri orang miskin. “O sahabatku yang miskin dan yang sakit, kalian kesayanganku karena kalian mewakili pribadi Kristus bagiku dan hak apa yang ada dalam diriku sehingga diizinkan untuk merawatmu...”. Orang miskin adalah Kristus yang dapat kita rasakan di daerah kumuh, dalam tubuh yang cacat dan diri anak-anak. Kita menginginkan bahwa orang miskin mengetahui bahwa masih ada orang-orang yang mencintai mereka.


Bertemu Kristus dalam diri Orang miskin


“Kalau kita tidak dapat melihat Kristus, kita tidak dapat memperlihatkan cinta kita kepada-Nya. Jika Dia dapat dilihat maka kita dapat melihat sesama kita dan dapat melakukan untuk mereka apa yang ingin kita lakukan untuk Kristus, jika Dia dapat dilihat“. Norma-norma Pengadilan terakhir dalam Mateus 25, dimana Kristus identik dengan yang miskin, begitu juga dengan Ibu Theresa yang adalah Kerugma dari Injil. Hal itu terungkap dalam doanya:Yesus yang menderita, biarkan aku melihat-Mu dalam pribadi yang miskin hari ini dan dalam seluruh hidupku. Semoga aku melayani-Mu kapanpun ketika aku memperhatikan mereka. Izinkanlah aku mengenal-Mu bahkan jika penyamaran-Mu telah menghilang dalam seluruh ketertarikan akan kemarahan, kejahatan dan dalam kegilaan. Ajarkan aku berdoa, betapa indahnya melayani-Mu, hanya pertemuan dengan pribadi yang miskin merupakan jawabannya”.


Orang Miskin sebagai pribadi.

Meskipun karya cintakasih merupakan suatu persoalan bersama, cinta selalu memperhatikan seorang sebagai pribadi. Pribadi adalah pusat bagi kita. Untuk mencintai seseorang, kamu harus dekat dengannya. Cinta adalah sebuah produk di sini dan sekarang. Setiap pertemuan harus menjadikan seseorang sebagai  pribadi: ”Aku tidak pernah merawat orang banyak tapi hanya seorang pribadi.” Untuk bertemu dengan orang miskin secara pribadi dalam cara yang benar, seseorang harus menjadi miskin, karena bagi orang miskin, mereka hanya dapat bertemu lewat kemiskinan kita sendiri. “Kemiskinan kita, yang mana kita telah memiliki kelekatan sebagai perlindungan kita. Kita tidak ingin, seperti telah terjadi pada kaum religius dalam sejarah, mulai melayani yang miskin secara bertahap dan tanpa disadari mulai melayani yang kaya. Untuk mengerti dan melayani fakir-miskin, maka kita harus ambil bagian dalam hidup mereka. Kemiskinan kita merupakan kemiskinan sebagai kebutuhan, dari kehendak bebas kita sendiri.” Dari situ, gaya hidup Ibu Theresa sungguhlah miskin; para suster yang didirikan olehnya tidak memiliki sesuatupun, dan semua yang mereka terima harus dihabiskan bersama dengan yang miskin.  Dari identifikasi yang kuat dengan orang miskin ini, Ibu Theresa berpendapat: ”Aku membayangkan pribadi yang sangat miskin dalam kemiskinan dunia sekarang ini, dia adalah obat penderitaan dan kerja keras. Orang miskin merupakan nabi bagi manusia baru.”

Pandangan Ibu Theresa diarahkan untuk mengkritik, khususnya dalam pendekatannya yang tidak menghilangkan masalah mendasar dari penderitaan sehingga Theresa tidak memakai keahliam yang cukup dalam perawatannya terhadap yang sakit dan cacat. Ibu Theresa berpendapat bahwa:”Kita tidak tahu bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih daripada membawa setetes air ke pantai”, tapi jika tetesan ini  tidak dipantai maka akan ada sesuatu yang kurang. Dia tidak menolak kemajuan tehnologi dan pendekatan ilmiah, tapi dia mengkritik suatu kemajuan ketika kemajuan itu bermaksud untuk menurunkan makna Karitas.

Perhatiannya tentang aborsi begitu besar, dan dia menolak pengesahan aborsi: “Jika negara kaya memutuskan untuk mengesahkan aborsi, sementara mereka tidak kekurangan apa-apa, mereka adalah negara yang paling miskin di antara yang miskin.” Yesus mengatakan kepada kita bahwa bagi Bapa, kita adalah lebih penting daripada rumput, burung dan bunga di padang. Dan dia menambahkan, jika Bapa memelihara semua ini, maka lebih dari itu, Dia akan memelihara hidupnya dalam kita. Dia tidak dapat membohongi kita, hidup merupakan anugerah terbesar Allah bagi manusia, dan manusia diciptakan dalam gambaran Allah sendiri.  Allah adalah guru hidup dan manusia tidak mempunyai hak untuk menghancurkannya.


Dari Kasih Allah


Hubungan antara perintah pertama dan perintah kedua merupakan salah satu hal pokok bagi Ibu Theresa. Tinggal di hadapan Allah dalam Adorasi merupakan sumber kekuatan dengan mana dia mencintai orang miskin dan mencintai Yesus dalam diri orang miskin.

“Saat Kudus di depan Ekaristi harus dapat membimbing kita untuk bersama dengan orang miskin, dengan mereka yang tidak pernah mengalami pemenuhan manusiawi dan yang kepadanya Yesus merupakan penghiburan bagi mereka.  Ambil bagian dalam Ekaristi tidaklah lengkap jika tidak melayani dan mencintai yang miskin.” Jika kita mencintai yang miskin dalam kebenaran, kita pertama-tama harus berhubungan dengan Dia dalam Sakramen Mahakudus. Hal tersebut akan memudahkan kita untuk membawa cinta kita kepada Yesus untuk orang miskin.
Ibu Theresa mempertimbangkan kasih Allah sebagai sumber cinta bagi sesama, bahwa cinta Allah menyeberang masuk pada cinta sesama. “Bila kita dapat memperoleh  ketenangan dalam doa, kita lebih dapat memberi dalam hidup.  Kata-kata yang tidak memancarkan terang Kristus akan membawa kepada kegelapan.” Sementara dia ingin menjawab jeritan Kristus, Aku haus, dengan mencintai sesama, dia ingin memenuhi tuntutan Yesus “Berjagalah denganKu”, dengan mencintai Allah, Ibu Theresa menghidupi perintah cinta dalam suatu totalitas dan mewariskan nilai spiritualitasnya pada para susternya, juga pada seluruh dunia di  ambang pintu gerbang millenium ke tiga.



ABBE PIERRE (1914 -      )

Abbe Pierre, adalah seorang Imam Perancis, yang mendirikan Komunitas Emaus dan  mempunyai wawasan yang luas.  Suatu ketika dia menjadi seorang yang ingin menolong tunawisma lewat dunia politik.  Saat ini ada 350 komunitas Emaus dalam 37 negara; 104 ada di Perancis. Mereka melawan kemiskisnan dengan menyediakan pekerjaan dan rumah bagi yang miskin.

Abbe Perre kini telah pensiun di Rumah perawatan dimana dia terus memberikan perhatian dengan mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Motivasi dasarnya selama ini adalah komitmen untuk mencinta.

Dia mulai dengan tiga hal pokok: ”yang abadi adalah cinta, kita dicinta dan kita bebas.”

Abbe Pierre mulai dengan; ”yang abadi adalah cinta”. Yang abadi adalah cinta merupakan dasar iman pertamanya. Allah adalah cinta dan kita semua dicinta Allah. dia menghidupi misteri ini selama tujuh tahun sebagai seorang kapusin dan terpesona olehnya, Abbe Pierre tumbuh dengan kuat dalam iman: ”Sekarang aku tahu bahwa aku tidak pernah keluar selama tujuh tahun dalam biara jika aku tidak diyakinkan oleh sinar terang Sabda Yahwe, ‘Aku’ seorang yang mencinta. Adorasi berisi pengalaman kehadiran Allah dalam Tabernakel. Disana tidak ada kapal tetapi mempunyai pelabuhan. Pelabuhan itu bagiku merupakan sebuah tabernakel – pelabuhan yang mana aku berlayar dan dimana aku datang untuk berlabuh.


Dasar kedua imanku adalah keyakinan bahwa Aku dicinta


Dasar ketiga adalah keyakinan bahwa misteri kebebasan kita tidak mempunyai alasan lain daripada  kebebasan kita untuk menjawab cinta dengan cinta. Dari jawaban itu, diarahkan kepada keaslian dari cinta Emaus.

“Kebersamaan Emaus bukan siapa temanku dan apa yang telah aku capai...hal itu terjadi pada kita juga. Kita telah membuat diri kita takut dan menutup mata. ( Menurut Abbe Pierre, kita bebas  menjawab untuk mencintai atau tidak). Tapi kita tidak bisa melarikan diri  bahkan meramalkannya, Kita tidak memilih untuk melakukan hal itu juga.” Emmaus mempunyai keasliannya dalam jawaban pada suatu kebutuhan, suatu keperluan yang mendadak, bukan suatu organisasi politik, tapi merupakan suatu sekolah tindakan dan pertanggungjawaban terhadap masyarakat. Emmaus harus seperti batang korek api, miskin, kecil, tapi dapat menimbulkan kebakaran hutan. Ini merupakan hal yang penting – Percikan yang mengkomunikasikan dirinya sendiri”. Dalam seluruh hidup sosial dan tindakan politiknya bahkan ketika dia aktif dalam anggota “Perlawanan”, tiga ketentuan itu merupakan dasar hidupnya. “Mereka mencegahku meski dalam keberanianku.  Tuhan memberikan aku naluri yang baik untuk berhati-hati terhadap kekejaman. Jika aku mendorong keberuntungaku lebih jauh, itu akan baik bagiku, tapi itu bukan maksud dari melayani, karena alasan itu, aku menyapa dan tidak lebih.”

Sebagai orang yang mempunyai kepercayaan di dalam Allah, dia memberi kesaksian: ”Jika kamu mengulurkan tangan kepada yang miskin, kamu akan menemukan tangan Allah dalam tanganmu yang lain,” Maka dia berciri sangat Vinsensian, suatu sikap mengalir dari sumbernya.

Hidupnya dipusatkan atas cinta, merupakan salah satu dasar yang merupakan kemiripan antara Allah dan manusia. ”Cinta menemukan kesempurnaannya dalam Allah, juga  dalam setiap manusia.”

Kasih Allah kepadanya merupakan sumber hidup bagi dunia dan mempunyai pengaruh yang kuat bagi dunia melalui suatu perputaran dalam hidupnya untuk menemukan Allah. Dia menggambarkan gagasan ini, dengan gambaran tentang Tanah: ”jika kamu merenungkan tentang dunia, hidup yang panjang, disana tidak ada pilihan lain kecuali Allah atau bunuh diri.” Merupakan ungkapan yang dicontohkan oleh Abbe Pierre.


JEAN VANIER (1928 -     )

Namanya terkait dengan kelompok bahtera Nuh. Dia seorang Kanada dan dia mengakhiri karier kemiliterannya dari angkatan laut pada tahun 1950.  Dia pergi ke Perancis untuk belajar dan memperoleh gelar Ph.D..

Setelah bertemu dengan Romo Thomas Phillipe, setelah melalui proses pertobatan, dia memutuskan untuk pergi dan hidup bersama dengan dua orang cacat di Trosly – Breuil (Perancis), pada tahun 1964. Cara hidupnya menjadi dasar umum kelompok bahtera Nuh di seluruh dunia, dimana para sukarelawan ambil bagian dalam hidup harian mereka dengan yang cacat mental.

Dalam Kelompok Bahtera Nuh, pada tahun 1971, Jean Vanier menemukan gerakan lain, ”Iman dan terang,”. Gerakan ini ditujukan untuk merayakan Iman dalam suatu pertemuan keluarga dan teman bersama dengan orang cacat.

Jean Vanier membuka perawatan secara profesional dan merawat orang dengan suatu ketidakmampuan, dan memberikan perhatian yang merupakan sikap yang paling dasar dalam perawatan, yaitu memandang hubungan secara interpersonal. Dia ingin membangun suatu komunitas hidup dimana cinta dapat tumbuh dan berkembang. Buku pertama yang dia tulis penuh dengan makna, yang berjudul:”La Communaute, le lieu de fete et de parton” (Komunitas, tempat perayaan dan pengampunan).


Suatu Dunia yang bertembok


Jean Vanier telah memberitahukan bahwa banyak orang telah mendirikan tembok yang mengelilingi diri mereka sendiri. Manusia adalah yang dikucilkan, didiskriminasikan terus-menerus karena warna kulit, kemampuan intelektual, kekayaan, jabatan mereka dsb. Tembok dibuat untuk melindungi kita melawan pengaruh lain. Ketika kita membuat suatu batas antara diri kita dengan orang miskin, karena kita tidak ingin dihadapkan dengan orang miskin, karena kita tidak ingin dilibatkan dalam persoalan itu. ”Kita semua takut terhadap orang miskin yang memanggil. Jika kita menghentikan jalan kita, kita selalu menyerahkan sesuatu, waktu, uang, mungkin lebih dari itu. Dengan membangun tembok dalam diri kita, kita menemukan suatu pemaafan atas sikap kita sendiri: aku tidak punya waktu; aku tidak dapat memberi kepada setiap orang. Kita tidak ingin mengotori tangan kita dengan orang miskin. Sikap seperti ini mungkin bisa terjadi dalam kedalaman hati, padahal orang miskin mencari solidaritas, persahabatan dan komunitas.  Diri kita sendiri sedikit mencinta dan berkehendak untuk mengubah. Maka suatu tembok akan muncul diantara orang-orang, baik situasi dalam masyarakat maupun dalam mereka yang terpinggirkan. “Persoalan hati bahwa orang miskin berhadapan dengan kita, dengan ego kita, kekurangan kemanusiaan kita dan penolakan kita untuk memperlihatkan solidaritas kita terhadap orang miskin. Inilah alasan nyata mengapa kita terus mencoba membangun tembok yang mengelilingi kita terus-menerus”.


Menghancurkan tembok untuk membangun Komunitas.

Sejauh kita masih mempertahankan tembok itu, kita tidak akan pernah menemukan suatu kebahagiaan sejati. Kebahagiaan selalu terkait dengan memberi dan menerima cinta. “Komunitas dibangun atas kepercayaan timbal-balik yang mana kita dapat memberi dan menerima dari kedalaman diri kita.” Dalam komunitas cacat mental, Jean Vanier menemukan nilai komunitas sebagai tempat dimana cinta yang murni diterima dan dibagikan.

Dalam sekolah orang cacat mental, mereka mengalami ketertinggalan dari orang yang terdidik yang telah mengambil jarak dari sesama mereka, dan bagaimana mereka tidak belajar untuk bertemu dengan orang lain secara spontan dan tanpa praduga. Sesama kita yang cacat mental diangkat menjadi “tuan dan guru”, seperti yang Vinsensiusl a Paulo katakan.

“Kita terbuka akan sumber hidup dalam setiap manusia dan menolong orang agar mau menerima anugerah dari orang lain. Maksudnya bahwa kita harus melawan arus, dalam orientasi pertemuan dan komunitas dengan mereka yang dihina dan ditolak, atau dengan orang yang tidak kita kenal. Mereka akan mengajar kita dalam memperlihatkan kelembutan. Yesus menasihati muridnya, bukan untuk mengundang semeja dengan keluarganya, sesama yang kaya, teman mereka, tetapi dengan orang miskin, terlantar, sakit, buta. Duduk semeja dengan orang yang miskin, orang yang tidak berguna, dalam arti Biblis menjadi teman bagi mereka, menciptakan komunitas dengan mereka.”

“Saudara yang lemah menyentuh hati kita. Saudara yang lemah memberikan kekuatan, kelembutan dan sympati, kebaikan dan komunitas. Dia membuat sumber air muncul”.

“Kelembutan tidak bertentangan dengan keahlian dan efisiensi. Dengan kata lain, ketika kamu menemukan seseorang atau memberinya tumpangan, kamu harus mampu dan efisien dalam tindakan. Kelembutan dan Komunitas membentuk rangkaian keahlian kita.”


Komunitas sebagai tempat perayaan dan pengampunan


Jean Vanier masuk secara lebih dalam ketika dia menguraikan kelompok sebagai tempat dimana orang karena kelelahan mendapat cinta dari orang lain.

Menemukan bahwa yang lain dapat menjadi musuh kita dan musuh juga bersembunyi dalam kita, meskipun kelihatannya berlawanan asas, namun hal itu nampak seperti solidaritas. Penemuan ini mengundang kita untuk memutuskan tempat-tempat mulia untuk mengampuni dalam hidup. “Cintailah musuhmu” dalam ungkapan itu terkandung suatu arti yang begitu mendalam, ketika pengampunan mendapat tempat kehormatan, ruang untuk merayakan, untuk persaudaraan dan cinta. Ketika pengampunan berkurang, kita tidak dapat merayakan karena hati yang cacat, cemburu, iri dapat menghancurkan perayaan tersebut. Dimana tembok masih berdiri dalam suatu komunitas, disana tidak ada ruang pengampunan dan tidak ada tempat untuk perayaan sehingga  tidak ada komunitas yang bertahan lebih lama.

Dewasa ini umat manusia kembali pada suatu arah. Tehnologi dapat memecahkan semua masalah kecuali masalah kebahagiaan dan cinta. Tehnologi menawarkan kemajuan materi dan menggoda manusia. Tehnologi telah menaklukan bulan dan bintang. Tapi apakah  kita tidak harus kembali ke bumi dan menemukan kembali kemanusiaan, bersama-sama memperhatikan yang miskin dan yang lelah sehingga kita disentuh dan kemampuan otak kita membangkitkan simpati atau tetap kembali ke bumi, ke kemanusiaan, ke komunitas dengan setiap manusia mengandaikan suatu pertobatan. Apa yang menyebabkan sesuatu dapat berubah? Dalam hal ini, Jean Vanier mengalaminya itu dalam diri sesama yang cacat.


PENERAPAN KARITAS UNTUK MASA KINI


Mulai dari penerapan cinta terhadap sesama seperti pesan Kristus, dan mengambil inspirasi dari pendiri kongregasi seperti Romo Triest dan dari Santo Pelindung St. Vinsensius A Paulo, yang menghidupi cinta ini, Bruder Karitas sebagai sebuah Komunitas Religius berusaha untuk menerapkan perintah Cintakasih secara konkret.


Siapa yang menjadi sesamaku di masa kini?


Pertama dari semua, kita bisa bertanya bagaimana hubungan kita dengan sesama dapat dibangun? Bagaimana kita dapat melakukan sesuai dengan tiga hal ini: ”selalu, dimana-mana dan untuk setiap orang”, sambil memperlihatkan cinta yang istimewa bagi yang terlantar dan dimarginalkan yang merupakan kelompok yang menjadi pusat perhatian masyarakat dewasa ini?

Kita harus menggambarkan hubungan ini sebagai suatu keterbukaan mendalam dan menyeluruh yang dipadu dengan perhatian khusus terhadap mereka yang hak-haknya kurang diperhatikan.

Ketika Santo Vinsensius mengatakan bahwa orang miskin adalah guru kita, yang layak mendapat pelayanan cinta kita, dan ketika Romo Triest meminta bahwa tidak ada seorang pun yang rugi karena dia mencintai setiap orang. Keterbukaan dan perhatian khusus dari kita kemungkinan akan semakin memadai.

Keterbukaan yang fundamental dimaksudkan bahwa kita menyadari setiap orang sebagai anak dari Bapa Surgawi yang sama, sebagai gambaran Kristus, bait Roh Kudus – dalam konteks kepercayaan terhadap Allah Tritunggal. Dari pandangan dasar ini, kita dapat bergaul dengan semua orang dan mempermudah untuk memulai hubungan dengan mereka. Bersama dengan Filosof Levinas, kita dapat berkata bahwa kita ingin terbuka kepada siapa saja yang datang kepada kita, dalam perjalanan kita, apakah dia orang asing yang sehat atau sakit, miskin, tersisihkan atau yang dihormati karena bakatnya.
Kita harus mempertimbangkan secara terus-menerus, apa saja yang telah kita capai, keterbukaan dasar yang sungguh-sungguh atau berhenti sebatas teori saja, apakah kita membuat ini terwujud dalam hubungan dan aktifitas kita. Kita harus menjadi waspada dan melawan pengaruh keyakinan dari orang yang menggolongkan dan mengikat diri mereka pada masa lalu, keaslian, pendidikan mereka, berhubungan dengan keuangan dan keuntungan yang mana melihat hubungan dari segi keuntungan saja. Perhatian Triest tidak membiarkan seorangpun binasa karena setiap orang layak mendapatkan cinta yang menuntut penerapan dalam diri kita di masa kini.

Lebih dari itu, kita ingin mengembangkan suatu cinta yang istimewa bagi yang miskin, yang direndahkan, yang haknya kurang dihargai untuk menjembatani jarak antara kita dengan orang miskin. Kita harus bertanya pada diri sendiri siapa orang miskin dewasa ini, apakah kita mencari untuk berhubungan dengan mereka dan secara aktual bertemu dengan mereka, apakah kita terbuka untuk tuntutan bisu mereka akan pertolongan dan mencoba menemukan solusi terbaik untuk permasalahan mereka.

Perlu membongkar argumen: ”Kita tidak dapat melakukan sesuatu”, ”Kita hanya kecil”, ”Kita hanya punya uang sedikit” karena itu selalu merupakan alasan untuk meninggalkan pelayanan baru bagi kaum miskin. Marilah kita jujur dalam hal ini. Yesus berkata: ”Apa yang kamu lakukan untuk saudaraku yang paling hina ini, engkau melakukannya untuk Aku.” Berpeganglah pada yang baik, merupakan pesan St. Vinsensius dan Romo Triest untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang miskin yang selalu mohon uluran tangan kita.  Kepedulian terhadap orang miskin menyentuh inti spiritualitas kita, sumbangan positif kita dalam pewartaan Injil tentang cintakasih. Motto “Davantage’ (selalu lebih) harus memacu kita untuk tidak mudah mundur tapi menemukan penyelesaian yang baru akan kebutuhan orang miskin dewasa ini sehingga kita menerima mereka sebagai saudara dan saudari kita.

Peraturan Bruder Karitas, ”Terdorong oleh karitas”(No. 16); ” Kamu percaya akan naluri setiap manusia bahkan yang ditelantarkan dan orang yang menderita, sehingga mereka selalu kehilangan kegembiraan dan harapan. Melalui perhatian kasihmu terhadap yang miskin dan menderita, kamu menemukan panggilanmu yang terdalam sebagai Bruder Karitas. Panggilan ini terjadi dalam penerimaan dan ambil bagian dalam penderitaan. Dengan kata lain, oleh cinta, kamu masuk dalam Kerajaan Surga yang sudah begitu dekat, ditengah kita.”


Bagaimana hubungan kita dengan sesama?


Hal penting yang lebih besar yaitu hubungan kita dengan sesama. Apa yang menjadi mutu persahabatan kita dengannya, suatu kualitas mencintai sesama kita? Bagaimana mewujudkan perkataan St. Vinsensius: ”Orang miskin adalah guru kita”? Apakah kita mempertimbangkan sesama kita sebagai pimpinan yang harus kita cintai dan kita hormati?

Kita harus mempertimbangkan dalam diri kita, hal-hal yang terkait dengan orang lain. Padahal umumnya hubungan antar manusia kerap dikomersialkan. Apa yang terjadi menjadi fungsional, yang mengarahkan pada pemanfaatan orang lain sejauh mereka menguntungkan kita dan kita membuang mereka sesudah itu.

Di rumah sakit dan d irumah perawatan, kita sering mendengar keluhan pasien yang kesakitan sehingga seluruh perawatan berubah menjadi keributan dan sikap dingin serta sikap yang tidak ramah. Banyak pejabat yang menekankan efisiensi sehingga nilai fundamental kehangatan yang ramah tidak diperhatikan lagi. Di mana saja kita menemani atau merawat orang yang menjadi tujuan adalah penerimaan pribadi dan kemnausiaan. Para murid, pasien, orang cacat, orang miskin, rekan sekerja perlu mengalami bahwa mereka mempunyai sebuah rumah yang damai dalam lembaga-lembaga kita.

Menjadi tugas utama kami untuk menciptakan suasana kehangatan yang manusiawi sebagai reaksi melawan trend komersialisasi. Sambutan hangat mengalir dari hubungan nyata dan dimungkinkan oleh struktur, lembaga dan “fasilitas”  yang ada. 

Pimpinan ikut menentukan dan menjadi sandaran dalam mewujudkan semua itu. Jika mereka tidak berhasil dalam menciptakan suasana kekeluargaan bagi bawahan mereka, mereka secara tidak langsung mengajarkan kepada bawahan mereka untuk berlaku yang sama kepada para murid, para pasien dan pada setiap orang lain. Apakah yang menjadi ukuran sekolah atau lembaga kita, yaitu selalu memancarkan suatu suasana kesederhanaan.

Program kita yaitu melaksanakan metode terapi dan pedagogi yang teruji dalam mewujudkan cinta yang ramah. Program ini hanya bermaksud mencapai sesuatu yang lebih baik dan itu terbukti, tetapi hal itu tidak pernah menjadi tujuan akhir bagi kita. Tujuan kita ialah menyebarkan cinta bagi sesama yang miskin yang membutuhkan dan menjadikan hidup mereka lebih baik, lebih indah dan lebih bahagia – Ini suatu karya dalam bidang kualitas hidup.


Bagaimana cinta yang sejati diterapkan?


Mengambil contoh dari Pendiri PJ Triest dan mempertimbangkan bagaimana dia menjalankan cinta dengan baik dalam zamannya, kita dapat menerapkan pandangannya atas manusia, kecakapannya memperhatikan sesama, perhatiannya tentang lingkungan fisik agar layak, penghormatan dan perhatian tentang struktur dan organisasi pada zaman kita juga. Ada empat pokok yang akan kita kembangkan.

Pandangan kita atas manusia tergantung hubungan kita dengan manusia itu sendiri. Manusia dilihat dalam totalitasnya sehingga kita menjangkau semua dimensi manusia untuk membuat manusia menjadi benar-benar manusia. Sesama kita, baik yang sehat maupun yang sakit, yang terluka, yang ditelantarkan, orang yang sangat miskin, sangat sakit dan cacat harus mendapatkan perawatan dan perhatian kita.

Aspek fisik manusia, hidup emosionalnya dalam seluruh fase pengasuhan-pendidikan dan pengawasan (monitoring) harus dihormati, didorong dan dijaga. Banyak manusia yang terluka secara fisik. Tradisi baik dari kongregasi kita yaitu mendorong kita memperhatikan orang seperti itu dan memberikan kepada mereka pertolongan yang layak.

Manusia adalah makluk sosial yang harus berhubungan dengan orang lain untuk menemukan tempatnya dalam masyarakat. Membangun hubungan seringkali disertai dengan konflik baik secara individu maupun dalam kelompok, kekecewaan yang besar seringkali melukai orang dan membuat mereka mudah menyerah untuk membangun relasi.

Akhrnya, manusia juga mempunyai dimensi existensial, dia mencari arti dalam hidup. Sebagian orang menemukannya dalam agama dan mengembangkan spiritualitas hidup yang mereka miliki; yang lain berjuang dan menghadapi kesulitan untuk menemukan arti hidup. Pandangan kita atas manusia dan persoalan kita dalam hubungan dengan mereka diwarnai oleh kepekaan yang tinggi pada seluruh dimensi dalam diri manusia dan perhatian kita perlu menerapkan pendekatan holistic-menyeluruh-utuh.

Keahlian merupakan point kedua perhatian kita. Pelatihan yang profesional dan ‘mumpuni’, dilihat sebagai suatu perluasan dan konsekuensi sikap dasar kita dalam  mencinta. Ketika kita mencintai seseorang, kita menginginkan pribadi itu baik dan ingin menolongnya dengan maksud yang baik.

Penerapan pada hubungan dengan sesama dalam pendidikan, pendampingan dan kepedulian dimaksudkan untuk mengembangkan keahlian kita. Kongregasi kita memberikan perhatian besar untuk pelatihan dan dalam melayani pelatihan. Romo Triest memberikan bukti pada zamannya, bekerjasama dengan Dr. J. Guislain, yang ditunjuk sebagai dokter dan psychiater untuk rumah sakit jiwa Gent karena Triest ingin profesionalitas perlu ditambahkan dalam sikap mencinta.

Keahlian akan membimbing kita pada suatu pertanyaan tentang pendekatan kita terus- menerus, untuk menilai-mengevaluasi apa yang kita kerjakan dan untuk menguji kualitas hubungan kita dalam cinta yang sejati. Keahlian yang sesungguhnya dapat menisbikan (tidak memutlakkan) tujuan akhir setiap tindakan professional dan meningkatkan kualitas hidup.

Ciri khas Romo Triest adalah perhatiannya yang besar untuk memperbaiki lingkungan material selain penghormatan bagi para penerima perawatan, ”Sederhana dan Luwes” merupakan semboyan yang dipakai untuk menunjukkan bahwa kita tidak dikelilingi oleh kemewahan tapi kesederhanaan, cukup memadai, bersih dan indah. Penghormatan kita kepada yang lain akan terlihat dalam cara kita menyediakan tempat, makanan, pakaian, dan kenyamanan bagi mereka, hal ini akan menjadi suatu keutuhan meskipun perlu disesuaikan dengan perubahan keadaan.

Kita harus waspada terhadap organisasi dan struktur yang kaku, semua itu tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Semua itu ada dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan meningkatkan kualitas hidup. Semua itu merupakan kerja management yang dilakukan dalam semangat pelayanan. Diatas semua itu, kita perlu menciptakan banyak peluang untuk mengizinkan dimensi kemanusiaan masuk.  Komersialisasi, tehnologi, dll yang tidak sepantasnya merupakan gejala yang mungkin menyelinap dalam organisasi itu. Marilah kita memberi perhatian pada keseluruhan struktur dan organisasi yang terfokus pada orang yang kita layani, karena cinta kita bekerja pada mereka.


Apa yang menjadi sumber dan motivasi Cinta sejati?


Semua hal yang disebutkan di atas kadangkala dapat memposisikan kita pada suatu batu uji. Dari situ kita harus mengetahui dimana kita harus menarik kekuatan dan motivasi untuk tetap menjaga kemurnian cinta sejati kita. Kita menemukan hal itu dalam perintah cintakasih itu sendiri, seperti yang Vinsensius dan Romo Triest katakan:”Pergi dan ketuklah pintu Allah, karena dalam Allah sendiri, kamu menemukan cinta sejati.” Cinta yang teguh terhadap sesama hanya dapat diperoleh jika kita terbuka pada kasih Allah, karena kasih yang sama ini akan memampukan kita untuk mencintai setiap orang dengan tulus, selalu dan dimanapun. Kemampuan ini harus mendorong kita untuk belajar dan rela menghabiskan waktu bagi pengembangan spiritualitas kita sehingga mampu memberikan ruang bagi Allah. Suatu saat wajah Allah akan menghilang dari orang yang berhenti mencari Allah, yang telah jauh dari-Nya. Kita mempunyai tugas yang berat untuk menjadi Pencari Allah yang benar, untuk menuju sumber iman yang terus menerus. Jika kita lalai melakukan hal itu, spiritualitas kita akan goyah dan sikap dasar cinta kita akan lenyap. Jika hari ini kita menyadari bahwa kehangatan manusiawi hilang, kehilangan ini karena kita telah jauh dari sumber iman. Doa, meditasi dan sakramen-sakramen adalah jalan yang dapat dipercaya, mendukung dan menghidupi spiritualitas sikap cinta.

Kita menghadapi tantangan baru dari karya pendampingan sesama, pencarian llahi dan pembicaraan dengan orang lain tentang Tuhan dalam dunia secular sekarang ini – Tugas itu sangat mendesak jika kita ingin membuat dunia kita ini hidup dan dapat dinikmati. Dostoyevski menulis bahwa anak-anak ditinggal dalam kedinginan jika ayah mereka jauh dari rumah. Allah Bapa kita, telah mengundang kita untuk tetap terbuka kepada-Nya, karena itu bagaimana kita dapat menerima kehangatan cinta-Nya dan memancarkan cinta itu kepada yang lain. Sehubungan dengan mencintai orang lain dengan baik dapat diteruskan jika kita dipenuhi dengan kasih yang sumbernya di luar sumber manusiawi. ”Ketika kamu lelah dan capek, pergi dan ketuklah pintu Allah, dalam Allah sendiri ada cinta yang sejati,” Romo Triest mengatakan pertamakalinya kepada Bruder-bruder Karitas, marilah kita sekarang ini memperhatikan kata-katanya.


4. AKU MENGINGINKAN BELASKASIHAN, BUKAN KORBAN (Mat 9:13)

Karya belaskasih merupakan suatu penerapan yang berguna dan sekaligus bimbingan praktis untuk menemukan ketakterbatasan dan ketakterukuran tuntutan atas perintah Karitas.  Bagaimana kita mempertimbangkan karya belas kasih dalam terang perintah cintakasih. Bagimana kita dapat melatih semua itu hari ini?

Berbelaskasih dimaksudkan bahwa kita memegang seorang pribadi dalam perasaan kasih yang lebih besar. Karya belaskasih merupakan tanda luar dari afeksi, khususnya dalam karya belaskasih yang utuh dikenal dengan lebih baik karena karya itu sungguh dapat dilihat dan secara ekplisit disebut dalam Alkitab. Mazmur 50 dan Mazmur 51 sangat jelas mengutarakan tuntutan pelaksanaan belas kasih bukan kurban. Dalam kitab Yoel (2:12-13) mengatakan: ”Berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan ia menyesal karena hukuman-Nya”

Ketika kita melakukan karya belaskasih, kita meniru Allah, yang belaskasihan-Nya ada dalam diri-Nya sendiri, dan kita mengikuti Kristus. Karya belaskasih sedikit dikenal tapi banyak dipraktekkan sehingga baik untuk mengikuti itu dalam satu nafas dengan keutuhan karya belaskasih, karena semua itu secara intensif terkait dengan perintah cintakasih dan totalitasnya. Kita akan membicarakan bentuk-bentuk karya dan mencoba melihat bagaimana semua itu dapat disadari dalam hidup harian kita dan menolong kita untuk mengaktualkan tugas cinta kasih kita.


Memberi makan yang lapar


Hormat adalah buah dari cinta. Di Eropa Barat akan kamu lihat beberapa  orang menderita kelaparan tapi kamu juga akan melihat yang berpantang makan agar kelihatan lebih kurus dan lebih sehat. Sementara, ketika kamu lihat di Afrika dan Asia, mereka mencari diantara tumpukan sampah untuk makan, kamu mulai sadar bahwa kelaparan akan mengarahkan orang kepada sesuatu yang ekstrim. Mengapa di dunia ini masih ada jurang antara yang kaya dan yang miskin?  Kita dapat dengan mudah menyalahkan struktur dan kekuasaan dunia dan mempertimbangkan diri kita sendiri bebas dari usaha untuk memberikan pertolongan kepada yang lapar, sementara hidup terus berjalan dan seratus orang mati setiap hari karena kelaparan.
Dalam biara kami di Gent, seorang perempuan miskin telah diberi makan malam pada setiap hari Minggu lebih dari 30 tahun. “Tilla” dia dipanggil sesudah pendahulunya yaitu “Tillo”. Setiap Minggu sore Jam 6.30 tepat, Tilla sudah ada di depan pintu kami. Dia tidak pernah membunyikan bel karena dia tahu bahwa pintu akan dibuka untuknya saat itu. Secara sturktural, kita tidak menolong Tilla, hanya suatu pemecahan yang kita tawarkan untuk memberi makan dia setiap Minggu sore. Pada hari yang lain, kemungkinan dia juga mengunjungi biara yang lainnya. Bagaimanapun juga, dia diberi makan yang lebih baik pada hari Minggu; bagi Tilla, dia juga mempunyai hak  atas makanan itu pada  hari Minggu. Para Bruder juga tetap menjaga kebiasaan seperti itu.

“Triest House” di Gent menerima sekitar 61 orang miskin setiap hari, yang dipanggil dengan sebutan orang dunia ke empat. Pengemis pertama datang minta uang dan kami memutuskan untuk memberi sebungkus makanan. Seorang bruder mengajar bahwa kebutuhan orang ini lebih daripada beberapa roti dan keju sehingga Triest House dibangun disudut Gezond heldsstreet (Jalan “kesehatan”). Ini menjadi restoran sosial dimana orang dapat duduk dari jam 10 sampai sesudah makan siang, dan bisa bertemu dengan sahabat, mendapatkan perhatian dan simpati dari para burder dan para sukarelawan. Makanan gratis juga terbuka bagi yang tidak miskin – mereka tidak termasuk pengemis tetapi sesama yang dapat membayar kontribusi mereka sendiri untuk makanan itu. Makanan disediakan dengan baik dan tidak “berlebihan”. Belaskasihan dan keadilan selalu seiring sejalan, dan keadilan selalu diwarnai dengan cinta. Pada tahap akhir Triest House menyediakan beberapa akomodasi untuk para tunawisma untuk bermalam, ruangan yang bersih dan rapi; orang miskin dihormati dalam kemanusiaan mereka.


Memuaskan yang haus


Dalam negara yang berkembang, salah satu kegiatan utama para gadis dan wanita adalah mengambil air. Mereka sangat beruntung jika disana ada sebuah sumber air, pompa atau sungai di lingkungan tempat mereka berada, jika tidak mereka harus pergi jauh, memanggul tempat air di atas kepala mereka. Kami di Barat cenderung melupakan bahwa air merupakan satu hal yang sangat penting. Air yang berlimpah dan mengagumkan akan menyucikan tanaman dengan air yang menghidupkan. Musim kemarau yang panjang dan panas membuat kita sadar bahwa masalah besar akan muncul ketika di sana ada sedikit air, dan kita harus menggunakan air sehemat mungkin.
Untuk menjadikan air sehat untuk diminum, manusia harus mengambil tindakan pencegahan, juga dalam mengembangkan suatu negara. Air yang sehat harus dari sumber yang sehat juga, harus disaring dan direbus. Ketika kita ditawari segelas air di daerah Afrika, kita harus yakin bahwa air yang diberikan itu merupakan air yang bersih Dan sehat.

Apakah kita telah lupa, akan banyaknya penyakit menular disebabkan oleh air yang sudah terkontaminasi-tercemar? Lihatlah kamp pengungsi dan bagaimana mereka kadangkala berhadapan dengan kolera karena kekurangan air bersih.

Pengeboran air dan pemasangan pompa merupakan tugas penting para misionaris di Afrika, dan mereka siap membagikan air dengan sesama. Bersolidaritas dengan orang miskin, berarti mereka perlu menghancurkan hal yang merintangi orang-orang itu untuk hidup layak.

Minum juga merupakan kesempatan untuk mengambil bagian seseorang dengan teman yang lain. Minum dengan teman, gembira bersama, merasakan anggur yang baik saat resepsi atau pesta – mereka adalah bagian yang sangat penting dalam hidup social di Barat. Segi negatif dari minum yaitu digunakan untuk melarikan diri dari realitas dan menjadi seorang pecandu alkohol (minuman keras). Jika kita mempunyai solidaritas yang kuat maka kita harus menolong setiap orang dan mencoba menemukan bagaimana mereka dapat membuang kebiasaan buruk itu.

Memuaskan yang haus menuntut sesuatu yang lebih, dan Injil juga berisi banyak pesan dimana kehausan, minum dan air yang murni memainkan suatu peranan. Hal tersebut secara puitis di ungkapan dalam Mazmur: O Allah, Engkau Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepadaMu, tubuhku rindu kepadaMu seperti tanah yang kering dan tandus, tiada air (Mzm. 63:2). “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Tuhan”(Mazm. 42:2). Kutipan dari Kitab Mazmur tersebut sangat menyentuh kedalaman hati manusia, manusia yang mencari arti hidup dan menyadari bahwa dia tidak dapat memberikan jawaban kepada sesama atas masalah-masalah hidup.  Disinilah spiritualitas mulai menyelidiki keberadaan akar hidup.

Sepanjang jalan ini, kehausan kita tidak pernah dipuaskan secara sempurna, karena disana ada cukup alasan untuk mencari sumber yang tidak habis-habisnya yang dapat memuaskan rasa dahaga kita. Mungkin kita mencari dan haus akan sumber itu dewasa ini. Kita mendampingi mereka untuk menjelaskan sumber yang benar itu:”Tetapi barang siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus lagi”.(Yoh 4:14). Yesus mengatakan hal tersebut kepada perempuan Samaria. Kata-kata tersebut masih menjadi pegangan sampai saat ini.




Memberi pakaian kepada yang telanjang


Ketika kamu berjalan melalui pusat perbelanjaan yang sibuk dan masuk sebuah toko pakaian, kamu mulai menyadari betapa mewahnya kehidupan di negara Barat ini (juga segolongan orang di Indonesia ini). Pada meja kasir setiap orang berkumpul untuk membayar pakaian yang bagus, atau mereka ingin mengenakan barang-barang yang berkualitas tinggi dan mengikuti mode.

Namun pada jalan yang sama, kamu melihat Aliece hanya dapat melihat-lihat di etalase sementara yang lain membeli pakaian secara lengkap. Dia harus meminta keringanan / menawar harga dan hanya dapat membeli pakaian bekas. Dia ingin sekali membeli sesuatu yang baru bagi anak-anaknya, tapi dia tidak dapat mengusahakannya – dia hanya bisa melihat-lihat saja. Hal itu juga terungkap dalam Sabda Kitab Suci: ”Jangan kuatir akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai” (Mat 6:25) dan “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membagikannya kepada yang tidak punya” (Luk 3:11).

Ketidakkuatiran akan apa yang akan kita pakai saat ini memberi tawaran baru dengan apa yang harus kita pakai pada musim berikutnya (ada 4 musim). Iklan telah memunculkan suatu gaya baru yang mengungkapkan bahwa pakaian bukan hanya untuk  melindungi diri melawan keadaani iklim. Sementara itu, di dunia Barat masih banyak pula orang yang bersikap menerima dengan apa yang mereka peroleh dari orang lain atau dengan hanya membeli barang bekas. Mereka tidak selalu dapat mengenakan pakaian menurut mode terbaru.

Marilah kita berusaha mengenakan pakaian yang sederhana dan mengendalikan sifat konsumerisme dalam diri kita. Kita tidak harus memakai pakaian yang menjadi mode masa kini dan kita tidak harus mengenakan pakaian dengan merek-merek yang terkenal. Di sekolah kami, kami harus melawan trend dengan baik. Kadangkala di sekolah ada kompetisi pakaian, beberapa anak ditertawakan dan diusir karena pakaian mereka. Orang tua dan pihak pengelola harus membuat aturan yang jelas tentang pakaian di sekolah. Di sekolah juga ada pengumpulan pakaian setiap tahun untuk disalurkan di negara kami sendiri atau ke luar negeri. Apa motivasi kita memberi pakaian? Apakah untuk mengosongkan lemari kita saja sehingga kita dapat memenuhinya kembali dengan pakaian-pakaian yang baru, atau karena kita ingin membagikan kelebihan kita dengan yang tertindas? Ini bukanlah suatu Pewartaan jika kita hanya memberikan apa yang menjadi kelebihan kita. St. Martinus dari Tour memberikan suatu contoh dengan membagi mantol militernya menjadi dua bagian dan memberikan sepotong kepada pengemis. Dalam Gereja St. Martinus di Perancis Selatan, saya membaca bahwa St. Martinus telah memberikan separo mantel yang dimilikinya sementara separo yang lain tidak untuk dibuang.

Di negara-negara berkembang dimana banyak orang berjalan dalam pakaian yang compang-camping dan tidak punya apa-apa untuk dipakai, kita dihadapkan dengan kebenaran yang mencolok, suatu keadaan yang mendalam bahkan tidak mudah dilupakan. Berkonfrontasi dengan kenyataan itu kiranya dapat menyembuhkan kita dari kekerasan hati ktia sehingga kita menghargai pesan Injil dan tugas Injilli dengan lebih baik.

St. Basilius mengatakan sebagai berikut: ”Mantol yang kamu simpan di dadamu sangat kelihatan; alas kaki yang telah hilang di rumahmu membuat kamu telanjang kaki; uang yang telah kamu kubur merupakan  milik orang miskin; roti yang berlebihan menjadi kepunyaan yang lapar.”


Memberi perlindungan kepada orang asing


Gereja Katolik Roma selalu menekankan pentingnya keramahtamahan. Biara dikenal karena keramahtamahannya. Para pejalan, peziarah dan orang miskin secara teratur menjadi tamu biara. St. Benekdiktus, pendiri Biara di Barat, membaktikan beberapa paragraf konstitusinya untuk memberikan penjelasan tentang sikap keramahtamahan kepada tamu Yesus yang hadir.

Ketika kehidupan modern memperlihatkan mobilitas yang tinggi, seseorang mungkin berpikir bahwa keramahtamahan meningkat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.  Keramahtamahan telah dikomersialkan sehingga seseorang menunjukkan ungkapan yang ramah pada saat membayar di bagian kasir. Meskipun begitu, segera setelah kamu membayar rekening hotelmu, kamu tidak tertarik lagi dengan staff itu. Menerima orang dengan ramah dan memberikan waktu khusus untuk mereka membuat suatu kenyamanan tersendiri bagi orang itu. Hal tersebut menjadi perhatian tersendiri bagi kami. Dalam negera berkembang, kita dapat belajar bagaimana keramahtamahan masih dijunjung tinggi.

Orang asing telah membuat kita membayangkan tentang banyak pengungsi di beberapa tempat, beberapa dari mereka mengembara, diburu seperti binatang liar, pengungsi berharap untuk kembali ke rumah yang lebih baik. Orang Rwanda dan Burundi berada dalam pembuangan sejak tahun 1993 dan hidup di tenda-tenda di negara asing seperti Tanzania. Anak mereka tidak bisa secara teratur masuk sekolah karena ketidakamanan. Masa depan jadi samar-samar. Seorang Bruder Karitas yang mengalami keadaan seperti itu telah memberikan pendampingan kepada para pengungsi selama perjuangan mereka untuk bertahan hidup. Suatu hari dia berada di antara mayat-mayat korban pembunuhan untuk yang kesekian kalinya. Untuk saat ini, dia mengorganisir sistem belajar jarak jauh untuk kaum muda yang terlantar di camp-camp penanpungan pengungsi untuk menciptakan suatu harapan di masa depan.

Di Belgia, kami berhadapan dengan banyak orang asing dan banyak reaksi antara integrasi dan diskriminasi. Hal ini penting bagi kami untuk meningkatkan integrasi dan kesatuan dalam solidaritas dengan para pengungsi: ”Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir: Akulah Tuhan Allahmu.” (Imamat  19:34).

Ajaran Sosial Gereja menyatakan bahwa baiklah jika ada batas kepemilikan (kekayaan pribadi) sehingga ada ruang untuk setiap orang. Bumi ini kepunyaan Allah, maka setiap orang mempunyai hak untuk menempati bumi ini untuk hidup. Kita dihadapkan dengan banyak orang yang mencari suatu suaka-perlindungan. Tentu, hal ini menuntut suatu kebijaksanaan untuk menghindari keputusan yang sembarangan, sementara itu kita harus bertanya bagaimana perlakuan terhadap para pencari suaka itu sendiri. Mereka menanggung banyak penderitaan dan  dipaksa untuk melarikan diri dari negara mereka. Ketika mereka berpindah, ditahan dan dibawa ke tempat penampungan, kadangkala mereka diperlakukan mirip seorang tahanan. Sementara itu, mereka dihadapkan pada kesulitan dan prosedur yang tidak bersahabat, sehingga kita tidak dapat tinggal diam.


Kita tidak bisa hanya menyalahkan para penguasa, tapi bertanyalah pada diri kita sendiri apa yang dapat kita lakukan terhadap masalah ini. (sic! Meski cukup banyak penguasa bersalah dengan pembuatan keputusan / aturan main yang tidak adil)


Mengunjungi yang sakit


Kitab Suci memberikan perhatian yang besar seperti halnya Yesus merawat dan menyembuhkan orang sakit. Sakit dalam tradisi Yahudi, sakit dianggap sebagai suatu kutukan dari Tuhan dan menyebabkan orang itu harus dikucilkan. Orang yang tanpa daya  dalam wajah orang yang sakit dianggap menjijikkan dan harus dikucilkan. Yesus menghancurkan kebiasaan itu dengan memberi kenyamanan kepada si sakit, berbicara dengan mereka dengan baik, menyentuh dan menyembuhkan mereka, bahkan sebelum mereka memohon kepada-Nya.  Suatu fajar baru telah muncul bagi Umat manusia!

Dewasa ini, banyak orang Kristen berusaha meniru Kristus dalam kepeduliannya terhadap yang sakit. Orang Kristen awal melayani yang miskin dan sakit; para diakon diberi tugas untuk merawat yang miskin dan sakit seperti yang telah dilakukan oleh Kristus. Sesudah itu banyak organisasi memberikan perhatian kepada fakir miskin dan merawat yang sakit yang mana Gereja memainkan peranan yang sangat penting.

Dewasa ini, kepedulian terhadap kesehatan merupakan suatu aktifitas profesional yang utama dan pihak Pemerintah telah memberi bantuan yang cukup besar. Namun dibalik perkembangan yang positif ini juga mempunyai sisi gelapnya. Meskipun terjadi perbaikan perlakukan yang lebih besar, kepedulian terhadap yang sakit sebagai pribadi harus mendapatkan perhatian juga. Sebuah Rumah Sakit dapat merupakan suatu bisnis pengobatan dimana prinsip ekonomi diterapkan dan dimana perhatian atas orang sakit diterapkan. Hal tersebut merupakan suatu kenyataan sehingga kita harus mempertimbangkan hal-hal tersebut. Secara struktural ini perlu tapi kita tidak mampu  campur-tangan pada tingkat ini. Merupakan pertanyaan yang penting bagaimana diri kita sendiri berhubungan dengan pasien dan bagaimana perhatian yang telah kita berikan kepada mereka.

Apakah kita telah memberikan waktu kita untuk mengunjungi yang sakit, juga terhadap orang yang sakit keras?

Apa sumbangan kita bagi masyarakat dan apakah kita masih terbuka terhadap setiap pasien, atau apakah kita menganggap mereka sebagai suatu beban? Bagaimana kita merawat mereka yang sakit parah dan yang sakit berat? Apakah dalam diri kita masih ada ruang untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, untuk mendengar dan menjawab, atau apakah masalah tersebut sengaja ditutupi dan menutupinya dengan pengobatan tambahan?

Elza adalah seorang istri yang suaminya sakit keras, dengan setia dia selalu mengunjungi suaminya setiap hari.  Suaminya sudah tidak mengenali dia lagi karena kemunduran kesehatan yang dialami oleh suaminya. Elza bahkan mengembil alih semua pekerjaan harian suaminya karena ketidakmampuan yang dialami oleh suaminya. Elza mempunyai peranan yang sangat penting, menolong suaminya waktu makan malam, mengecek kain sprei dan menjaga suaminya sampai jam 8 malam sampai suaminya tertidur. Situasi ini terus berlangsung selama 4 tahun. Dia tidak pernah merasa kehilangan hari-hari dalam hidupnya karena mengunjungi suaminya merupakan bagian dan hadiah dalam hidupnya. Sayangnya, tidak semua pasien mempunyai istri yang setia seperti Elza. Hal tersebut sangatlah mengharukan karena sering terjadi banyak pasien jiwa dilupakan oleh keluarganya. Mereka mengalami penderitaan dua kali; terasing dari diri mereka sendiri dan diasingkan oleh keluarga mereka. Setiap akhir pekan, merupakan suatu saat yang sangat membosankan di beberapa ruang perawatan karena aktivitas telah berakhir sehingga mulai merasa kesepian.


John, seorang Akuntan di sebuah rumah sakit jiwa di Irlandia.

Setiap Rabu pagi dia bermain golf dengan dua orang penduduk; dia menyebut aktivitas ini sebagai terapi mingguan. Dia sekarang mulai tahu dengan siapa dia bekerja di kantornya, yang merupakan karyawannya sehingga perkerjaan acountingnya memperoleh suatu ekstra dimensi. Tetapi merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi kedua penduduk karena setiap Rabu pagi mereka bisa ikut bermain golf. Sesudah bermain, mereka duduk untuk minum dan menjalani hari-hari yang baru dengan semangat yang telah diperbaharui, mereka mempunyai sesuatu untuk hidup.Di lembaga kami banyak waktu dihabiskan untuk menunggu; menunggu makan; menunggu untuk kembali atau masuk; menunggu dokter. Aktivitas tersebut kelihatannya telah mencakup seluruh megaton yang ada. Beberapa orang tidak terlalu lama menunggu karena mereka telah dilupakan. Seorang pribadi seperti John dapat bekerja begitu mengagumkan dengan orang-orang seperti itu. Yang menjadi pertanyaan bagaimana kita mencoba menjadi seorang John dan Elza...





Mengunjungi para tawanan


Karya belaskasih biasanya diartikan sebagai kunjungan kepada para tawanan. Perhatian kepada para tawanan begitu ditekankan, karena kita harus mengakui bahwa sedikit sekali orang yang pergi untuk mengunjungi para tawanan. Beberapa orang mungkin merasa sebagai manusia yang terhormat ketika mereka antri di pintu gerbang penjara. Mungkin kita harus mengetahui bahwa kita mengenal orang yang ada dalam penjara tersebut. Apakah kegembiraan yang besar ini tidak menjadi kesempatan yang baik bagi kita untuk mengunjungi orang yang telah dilupakan oleh masyarakat? Kita mungkin dapat menulis surat atau memberikan kartu kepada seorang atau para tahanan yang lain. Kita jangan hanya pintar dalam teori saja tapi kita harus lebih menekankan pada segi praktisnya.

Meskipun begitu, saya ingin membicarakan aspek lain dari “Mengunjungi para tahanan”.

Orang yang telah keluar dari penjara sesudah masa penahanan mereka dan harus mulai lagi dalam masyarakat, mereka dihadapkan pada tugas yang berat untuk membangun kembali hidup mereka. Penerimaan kembali dalam masyarakat merupakan sesuatu yang sulit. Secara psikologis, orang-orang seperti itu merasakan kesulitan yang begitu besar untuk bisa mengalami suatu kebebasan. Merasa selalu dihantui oleh suatu  keragu-raguan: apakah mereka bisa diterima kembali? Apakah mereka masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri mereka sendiri? Mereka menghadapi situasi yang berbeda, tempat kerja dan di antara teman-teman yang telah berubah. ”Sekali pencuri, tetap pencuri” Meterai seperti itu selalu hidup dalam pikiran setiap orang dan hanya dapat dihilangkan jika kita mempunya solidaritas dengan para mantan terpidana dan tetap memberikan kesempatan baru kepada mereka. Mereka akan mengalami kebebasan yang kedua jika mereka diberikan pertolongan, memberikan motivasi kepada mereka dan memperlihatkan cinta kepada mereka.

Hal tersebut merupakan pendapat kami, sementara kita tetap tidak setuju dengan perbuatan dan tindakan yang jahat, dan perilaku itu layak mendapatkan hukuman, Namun demikian, kita tetap menghormati pribadi pelaku, baik selama dalam penahanan maupun sesudah masa penahanannya. Orang Kristiani yang memberikan pengampunan atas hukuman ini tetap menegaskan bahwa tindakan kriminal harus mendapatkan hukuman dan kelompok residivis juga tetap perlu diawasi, akan tetapi pribadi harus dihormati di atas itu semuanya dan tak seorangpun mempunyai hak untuk mengambil hidupnya. “cintailah musuhmu” harus diterapkan secara radikal di sini.

Kita dapat menanyakan struktur sistem hukum secara keseluruhan, tetapi jika setiap tahanan selama menjalani hukumannya tanpa diberikan terapi penyembuhan, maka sistem itu bisa dikatakan mengalami kegagalan. Pusat Psikiatrik dibanjiri dengan permintaan bantuan dari para tahanan tapi mereka tidak memenuhi tuntutan itu juga. Sementara itu beberapa tahanan keluar tanpa diberikan pendampingan khusus sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk bekerja dan kemungkinan munculnya kembali kelompok residivis lebih besar.

Akhirnya, banyak tahanan yang kecanduan obat-obatan, mabuk-mabukan, perkelahian dan sebagainya. Mereka menjadi budak dari kebiasaan mereka sendiri dan juga kebutuhan akan pembebasan. Keberadaan mereka dalam penjara merupakan sesuatu yang memalukan dan menyebabkan banyak penderitaan bagi mereka sendiri dan bagi keluarga mereka. Dukungan secara individu, pertolongan yang profesional dan peperangan melawan obat terlarang akan selalu terkait dalam persoalan ini. Pencegahan, therapi dan pendampingan sesudah perawatan merupakan suatu sarana ampuh untuk melawan ketergantungan terhadap obat-obatan sampai ke akar-akarnya. Kami memberikan perhatian yang khusus kepada kelompok tertentu dan pelajaran pencegahan dan tentang gaya hidup yang sehat di sekolah. Masyarakat modern mempunyai lebih banyak “tahanan” di luar daripada sistem penjara di dalam. Janganlah kita saling mempersalahkan terhadap masalah ini, dan kita harus siap untuk memberikan pengampunan dan tidak persoalan hal itu lagi.


Menguburkan yang meninggal


Karya ke enam dari karya belaskasih mempunyai  moment puncaknya sendiri. Dalam abab pertengahan, bahkan ada kelompok religius yang dibentuk dan mempunyai tugas utama untuk menguburkan yang meninggal ketika muncul ketakutan yang menyangkut hidup selama wabah pes yang mematikan dan ketika banyak orang mulai tertular penyakit itu. Para Suster dan Bruder bukan hanya merawat pasien penyakit pes tapi juga mengurus pemakaman mereka. Dalam Perjanjian Lama, Tobit mungkin telah menjadi inspirasi bagi mereka ketika dia mengambil tubuh sesamanya dan menguburkan mereka selama penahanan Babylonia (Tobit. 1:16-20).

Penghormatan terhadap yang meninggal dan memberikan penguburan yang pantas kepada mereka merupakan bentuk pelaksanaan perintah cintakasih. Cinta kasih yang sejati tidak mengharapkan balas budi tapi merupakan kebaikan bagi sesama, suatu pandangan pada tingkatan yang tinggi dalam karya cintakasih. Ketika kita dengan penuh hormat mendandani jenazah, menempatkannya di atas tandu dan menguburkannya secara terhormat, kita melakukannya tanpa mengharapkan suatu balas budi – tapi perbuatan tersebut dilakukan tanpa pamrih. Orang Kristiani melakukannya untuk menghargai iman mereka akan Kebangkitan badan, karena kematian merupakan suatu transisi, suatu kelahiran kepada hidup yang kekal. Sangat disayangkan, kita sebagai orang kristiani selalu memperingati apa yang dilakukan orang yang telah meninggal dunia selama hidupnya dan menekankan bahwa orang yang meninggal akan selalu hidup dalam ingatan kita saja sementara kita melupakan  kesaksian iman kita akan Kebangkitan dan Hidup Kekal.

Beberapa waktu yang lalu, Joseph, seorang pasien psychiatrik, yang telah tinggal di lembaga selama beberapa tahun meninggal dunia. Dia tidak mempunyai famili lagil. Imam yang memimpin upacara penguburan berkata bahwa Joseph telah dikuburkan seperti seorang raja karena Kapel telah dipenuhi  para sahabat. Ini merupakan suatu hak dan sikap yang suci kepada seorang pribadi yang meninggal ketika pribadi yang meninggal tidak mempunyai famili lagi yang memberinya penghormatan yang merupakan suatu kewajiban bagi famili.

Sikap yang sama ditemukan dalam setiap orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada jenazah pada upacara penguburan. Dengan hati-hati mereka mengambil tubuh yang fana dan melaksanakan suatu penguburan yang sopan. Memperlihatkan sikap hormat kepada tubuh yang merupakan bait Roh Kudus, yang diciptakan dalam gambaran Allah, merupakan jalan mencintai sesama manusia di saat terakhirnya.

Mengunjungi dan merawat makam orang yang telah meninggal merupakan suatu bentuk lain dari cinta sesama dalam konteks kematian, bukan hanya untuk arwah atau untuk penghormatan segi manusiawinya. Kita percaya bahwa dalam hidup abadi kita akan tinggal dan bersatu dengan mereka. Mereka telah kehilangan waktu dan ruang karena mereka telah hidup dalam keabadian. St. Agustinus berkata: ”jangan menangis, kematian bukanlah hal apa-apa. Aku hanya berada pada sisi yang lain. Aku adalah diriku, kamu adalah dirimu. Kamu tahu segala sesuatu itu baik. Kamu akan menemukan hatiku lagi dan mengalami kelembutannya.” Di dalam Iman, kita dapat hidup dalam persatuan yang suci dengan para kudus!


Mengajar yang tidak tahu


Aku telah membaca tulisan pada sebuah kuburan di Flanders: “Dia telah mengajar yang tidak tahu.” Tulisan itu membuat aku berpikir tentang banyak guru yang telah membekas dalam diriku. Mereka telah berkomitmen secara total untuk pendidikan kaum muda. Mereka berdaya-cipta untuk menyentuh hati para siswa dan membukakan mata mereka akan nilai yang sangat berharga dalam hidup. Guru-guru yang dimakamkan di situ adalah para Bruder dan Suster yang menghidupi apa yang mereka katakan. Motto mereka mungkin: ”Perbuatan lebih jelas daripada perkataan.”

Mengajar seperti itu bukan suatu karya cintakasih, tapi menjadi karitatif jika guru memenuhi tugasnya dengan cinta kepada kaum muda dan menyampaikan nilai kebenaran kepada mereka. Masyarakat dewasa ini dipenuhi dengan nilai-nilai yang palsu. Kaum muda dipenuhi dengan pesan-pesan yang berlebih dan berpihak (tendesius). Pandangan yang sempit disampaikan lewat media dengan janji-janji kebahagiaan yang palsu. Ini merupakan saat dimana orang tua, para guru, para pendidik dan para katekis memperlihatkan kekuatan dan seruan kebenaran pesan Kitab Suci. Hal itu terkait dengan  keseluruhan nilai kebenaran kristiani. Jika pelajaran agama di Sekolah Katolik disandarkan pada moralitas atau ketika para katekis menggunakan beberapa pelajaran agama untuk mengembangkan kreatifitas sebagai pengganti katekese, maka mereka telah merampas pengetahuan pokok kaum muda tentang hidup Kristiani. Para Guru dan Katekis masih bisa diteladani oleh kaum muda modern jika mereka berani hidup menurut ajaran mereka. Hal itu penting bagi kaum muda yang mana mereka sendiri mencari suatu jawaban  yang kadangkala telah hilang di Zaman Baru ini dan kelihatan  samar-samar di antara banyak hal menarik yang lainnya.

Kemudian siapa yang dapat menyalahkan analphabetisme agama di antara kaum muda? Kebodohan dewasa ini di mana orang-orang telah kehilangan akar nilai keagamaan mereka karena mereka tidak mendapatkan pendampingan keagamaan serta tidak diajari jalan itu. Lebih mudah bagi kita untuk mengkritik pendidikan-pengajaran agama dewasa ini karena kita telah melupakan tantangan mengajar agama dewasa ini kepada orang-orang yang asing tentang Allah, juga asing dengan simbol-simbol tradisi religius dan yang hidup dalam suatu suasana dimana Gereja (di Barat) ditertawakan dan harus menghadapi tuduhan palsu. Hal itu menuntut suatu keberanian, suatu keberanian bagi orang muda untuk memberikan kesaksian iman mereka. Sehingga kita menghadapi tugas yang menakutkan dalam memberikan dorongan kepada kaum muda dan mendekati mereka dalam pencarian mereka akan Yesus.

“Tergeraklah hati-Nya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka.”(Mark 6:34). Kita harus menyampaikan perasaan Yesus kepada mereka yang tidak mengetahuinya. Yesus memberikan kepada kita suatu tugas: ” Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”(Mat. 28:19-20).


Memberi nasehat kepada yang bimbang


Banyak orang mencari arti hidup dalam hidup mereka. Terrminologi (pernyataan) ini didasarkan pada seorang Filsuf Kristiani yang mengembara (Wavering). Orang-orang bimbang akan masa depan, akan teman, akan pribadi yang mereka miliki. Beberapa diantaranya bisa mengolah keraguan seperti itu.

Ketika kita sedang bimbang, kita mencari kepastian, tapi masalah-masalah tersebut merupakan masalah yang kita tidak dapat kita pahami dalam kaitan dengan kehidupan.. Bagaimana kita bisa mengetahui masa depan? Pertanyaan itu di luar jangkauan kita; hal tersebut hanya dapat disadari secara bertahap dan tidak pernah akan dimengerti ketika kita bermimpi atau meramalkannya. Masa depan kelihatannya terpisah dengan masa kini dan kita hanya bisa mempersiapkannya. Ada beberapa pandangan buruk yang terkait dengan masa depan dan menggambarkan bahwa masa depan merupakan sesuatu yang mengerikan bagi kita. Nubuat kenabian membangkitkan kesadaran mereka bahwa mereka benar dalam beberapa hal. Akan tetapi, secara mendasar apakah hal tersebut merupakan kurangnya keyakinan mereka akan Allah yang akan berjaya pada akhirnya. Tanpa keyakinan agama yang kuat, maka masa depan akan terlihat sebagai suatu ancaman bagi orang-orang yang kuatir akan masa depannya..

Saya baru saja kembali dari pemakaman seorang wanita. Wanita tersebut meninggal karena kanker ganas. Kanker telah menghancurkan hidup dan keluarganya selama tiga bulan. Pemberontakan mulai muncul; orang merasa tak berdaya; sekarang ada rasa tertekan yang tiada akhir. Hanya pengharapan dalam hidup yang tertinggal untuk para sahabat dalam kepercayaan mereka  bahwa kematian orang-orang yang dikasihi Allah, hidupnya tidak dalam kesia-siaan. Mereka yang kekurangan iman dihadapkan dengan suatu jurang yang tidak terduga. Teresia dari Avilla berkata: ”Biarkan sesuatu mengganggumu, menakutimu; karena segalanya sedang berlalu; Allah tidak berubah. Bersabarlah mengatasi segalanya. Siapa yang memiliki Allah tidak kekurangan sesuatupun. Allah saja cukup!” Kata-kata ini begitu kuat yang akan menjauhkan seluruh keraguan dari pikiran kita.

Beberapa orang meragukan sesama mereka dan tidak percaya lagi pada setiap orang. Mereka mendasarkan sikap tersebut pada pengalaman negatif dan memutuskan untuk tidak percaya lagi pada setiap orang. Sikap tersebut dalam suatu hidup kelompok tidaklah mungkin. Ketika kepercayaan hilang dalam suatu keluarga, maka akan menjadi suatu kesulitan untuk bisa berbicara bersama. Adanya krisis perkawinan pada zaman modern ini merupakan bukti bahwa orang mulai tidak lagi belajar untuk percaya kepada orang lain. Cinta mewujud ketika orang-orang menunjukkan kesiapan untuk pergi bersama, meskipun……seseorang harus mampu membalik halaman lama dan mulai pada halaman baru yang mana semua kebaikan dapat dituliskan lagi.

Akhirnya, ada orang-orang yang meragukan diri mereka sendiri. Mereka memandang diri mereka sendiri secara negatif dan keyakinan diri mereka mulai rapuh sampai semua hal berlalu begitu saja tanpa makna. Seorang ibu datang untuk mendaftarkan anaknya pada sekolah perawatan (nursing school) dan mengatakan padaku bahwa anaknya tidak memperlihatkan sesuatu yang baik, padahal anaknya yang lain dapat melakukannya dengan baik. Seorang muda mencoba menarik diri setelah apa yang dilakukannya ternyata salah, ia kehilangan kepercayaan diri. Maka ia perlu berjuang dan belajar terus-menerus untuk percaya pada diri sendiri lagi. Kami telah berbicara dengan para staf pengajar untuk menekankan nilai kebaikan yang ada pada para siswa. Namun hal tersebut membutuhkan waktu sebelum dia mempercayai kami, karena dia tidak dibiasakan untuk dipuji.

Hal tersebut menjadi suatu proses penyembuhan karena dia telah kehilangan sesuatu pada masa kanak-kanaknya.

Dr. A. Terruwe, seorang psychiatrist Belanda, telah membimbing kami dalam melakukan penyembuhan ketika dia berkata: ”Kamu, siapapun kamu, dengan segala kesalahan dan kekurangan untuk menjadi pribadi yang berkembang, tapi kamu tidak dapat menjadi dirimu sendiri, meskipun demikian kamu mungkin dapat menjadi dewasa dalam jalan dan waktumu sendiri!”


Mengampuni  mereka yang bersalah


Dimana kita menunjukkan suatu sikap solider di tengah para pendosa, solidaritas menjadi sesuatu yang tidak ada artinya; kita gagal; kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada tahap berikutnya. Langkah apa yang harus kita ambil. Kita harus percaya akan rahmat dan pengampunan Allah, karena Allah menyertai jalan kita. Allah menerima kita seperti apa adanya, bukan setelah kita menjadi sempurna. Kita diizinkan untuk memohon di hadapan Allah dengan kebenaran kodrat kita Dan untuk mempercayakan kebenaran itu kepada-Nya, mungkin dengan mengikuti doa yang keluar dari bibir kita: ”Ya Allah, biarlah wajahmu bersinar atas kami dan kembalilah kepada kami, bagaimana diri kami di hadapan tatapan-Mu. Ubahlah hidup kami, baik yang tersembunyi maupun yang masih sulit tumbuh. Jangan memperhatikan dosa kami tapi bukalah hati kami kepada cinta dan kebijaksanaan-Mu, kepada pengampunan dan kesabaran-Mu”. Doa ini merupakan salah satu pengharapan dalam suatu pandangan bahwa kita tidak dapat mencapainya dengan kekuatan kita sendiri tapi mempercayakan kepada kehendak Allah. Rahmat Allah menjadi berbuah dan efektif dalam diri mereka yang rendah hati dan yang mengetahui bahwa mereka tidak dapat melakukannya dengan kekuatan mereka sendiri. Jika kita berpikir bertentangan dengan itu, kita akan menjadi sombong dan terlalu mengandalkan diri kita sendiri.

Ketika kita mengasihi yang lain kita akan mendukung yang lain dalam karya belaskasih kita. Allah tidak menghendaki kematian para pendosa tetap Allah menghendaki suatu pertobatan (EZ 33:11). Manusia dapat bertobat ketika dia berhenti memandang diri mereka sendiri secara membabi buta, tetapi dengan berharap pada Sabda: ”Akupun tidak menghukum engkau, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh. 8:11). Pembebasan oleh Sabda ini diwujudkan dalam Sakramen Tobat, tapi juga dalam hidup keseharian kita dalam hubungannya dengan yang lain. Apa terjadi dalam Sakramen Tobat merupakan perputaran hidup harian kita. Orang Kristiani harus melakukan pengakuan dengan serius, dengan bijaksana. Kitab Suci tidak mengizinkan kemarahan kita, tapi membiarkan pengampunan sebagai kata akhir.  Kemarahan merupakan hal yang biasa bagi manusia ketika kita sedang terluka atau karena ketidakadilan atau ketika kita menyaksikan suatu kejahatan. Tapi Cinta (sebagai nilai) mengundang untuk menghentikan tindakan itu, bukan hanya menekan kemarahan kita karena kemarahan akan menjadi suatu penyakit dalam hidup kita. Menasehati yang berdosa, ketidaksetujuan terhadap perbuatan jahat, pengampunan pribadi dengan tulus dan menyampaikan Sabda pendamaian dengan jujur serta pembebasan merupakan beberapa aspek penting dalam karya belaskasih; jangan mengijinkan perbuatan setan dan jangan berhenti karena kekurangan motivasi dalam menghadapi setan. Ingat apa yang dikatakan oleh Santo Yakobus bagi jemaat kristianinya: ”Saudara-saudaraku, jika seorang diantara kamu menyimpang dari kebenaran dan seseorang membawa dia kembali, dia akan mengetahui bahwa siapa saja yang membawa kembali seorang berdosa dari jalannya yang salah akan menyelamatkan jiwanya dari kematian dan akan menutupi banyak dosa” (Yak 5:19-20).


Memberi penghiburan kepada yang tertekan


Dunia merupakan suatu lembah air mata. Ketika kita mundur seabad ke belakang dimana setiap orang berjuang untuk mengurangi angka kematian bayi (to make ends meet dan child mortality) yang begitu tinggi, kita dapat mulai menyadari tekanan apa yang saja yang diderita orang. Ketika kita melihat para pengungsi dewasa ini yang ada dalam pembuangan tanpa harapan untuk kembali ke rumah, kita bersimpati dengan penderitaan mereka yang begitu besar. Ketika kita membaca bagaimana rezim Nazi Hitler dalam kamp konsentrasi mereka mencoba untuk menghancurkan pribadi yang ditawan. Ketika kita mendengar cerita yang mengerikan dari orang-orang dalam negara pasca komunis, bagaimana mereka ditekan selama bertahun-tahun dan telah kehilangan kepercayaan di bawah sistem pengawasan yang kejam dan di bawah pengawasan penjaga, kita  sulit untuk mengerti bagaimana suatu sistem yang merusak banyak orang dapat bertahan begitu lama.

Dari semua situasi yang menyedihkan itu, banyak orang menemukan penghiburan dalam penyertaan pribadi yang lain. Meskipun di sana tidak ada pengamanan  sosial, yang sakit dirawat dan  yang lanjut usia menemukan suatu rumah karena solidaritas yang masih dilaksanakan secara intensif dalam kelompok-kelompok skala kecil. Dalam kamp para pengungsi yang hubungan sosialnya begitu kuat membuat orang saling mendukung dan memberi peneguhan-penguatan kepada yang lainnya. Seorang yang bertahan hidup dalam kamp konsentrasi Nazi Hitler akan mengatakan kepada kamu tentang  peranan teman-teman dekat yang mencoba untuk bertahan hidup meskipun dalam suasana keputusasaan. Dibawah rezim komunis yang begitu menyengsarakan, solidaritas yang tersembunyi di antara banyak orang telah menolong untuk mempertahankan martabat kemanusiaan mereka.

Salah satu masalah dewasa ini adalah manusia harus menghadapi permasalahan seorang diri. Dia tidak menemukan seseorang untuk  menghiburnya, untuk menjadi lebih dekat dengannya. Strucktur tidak menolong memecahkan masalah ini; solusi hanya ditemukan dalam kerelaan kita untuk digerakkan oleh keadaan derita yang dialami oleh sesama kita. Banyak manusia mencari penghiburan, dan ketika kamu tidak menemukan seorang sahabat untuk pergi bersamamu, kamu akan melarikan diri. Meningkatnya para pecandu minuman, penyerangan dan bunuh diri di antara orang muda begitu mengkhawatirkan. Mereka bertindak secara berlebihan karena mereka merasa seorang diri, karena mereka tidak mempunyai teman untuk bersandar, untuk menghibur mereka.

Hidup mempunyai kesulitannya sendiri. Kita dapat menghadapi kesulitan tersebut karena sesama kita yang menolong kita, memberikan suatu ruang untuk bernafas dan mau mendengarkan kita. Penghiburan bukan berisi banyak kata; ketenangan hati kadangkala menjadi obat yang paling baik bagi seseorang untuk mendapatkan simpati dan penghiburan.

Ketika kita dipanggil untuk menghibur orang lain, kita harus belajar untuk berempati (ikut merasakan apa yang dialami orang lain) dan menyadari bahwa masalah yang ada merupakan sesuatu yang sangat besar dalam pribadi yang tertekan dan mengharapkan perhatian kita. Bagaimanakah kita menghibur orang merupakan suatu seni, dan hanya dipelajari dalam ‘sekolah cinta’. Penghiburan yang murni tidak dapat muncul seketika tapi menuntut kedekatan dan kejujuran yang benar. Jesus berkata: ”Berbahagialah orang yang berduka cita, karena mereka akan dihibur” (Mat 5:4).




Mengampuni Orang yang menghina


“Jika saya pernah menjadi korban terorisme, saya diteguhkan kalau komunitas, Gereja, keluargaku mengingatkan bahwa hidupku dibaktikan kepada Allah dan negara ini. Jalan hidupku sendiri tidak lebih daripada jalan orang lain; bahkan bisa kurang.  Dalam beberapa hal, jalan hidup tidak mulus seperti keadaan tidak bersalah dari seorang anak. Aku telah hidup cukup lama untuk mengetahui bahwa aku sama-sama bersalah karena roh jahat yang menyamar dalam kejayaan dunia ini bahkan ketika si Jahat memukul aku dengan membabi buta. Jika hal itu datang, dalam kejernihan hati, aku memohon pengampunan kepada Allah dan sesama manusia, Dan pada saat yang sama memberikan pengampunan kepada orang yang telah memukul aku.” Teks ini berasal dari surat Bruder Christian, Prior dari biara Trappist Tibhirine di Algeria, yang dibunuh oleh kelompok ekstrimis, bersama dengan enam konfrater lainnya. Biarawan yang hidup dibawah ancaman itu adalah saksi hidup. Ancaman dalam hidup mereka merupakan suatu latihan untuk memahami bahwa banyak orang merupakan penyebar kejahatan. Meminta pengampunan dari Allah dan sesama, memberikan pengampunan sebagai tindakan akhir dalam hidup – adalah pemikiran ideal yang kongkret dari biarawan di Tibhirine ini.

Dalam sejarah Gereja, banyak contoh kesaksian iman yang menunjuk pada cinta dan pengampunan kepada orang yang membenci dan mendendam. Pengampunan merupakan buah dari Cinta. Yesus memberikan sebuah contoh pengampunan, ketika Yesus di atas salib, Ia berdoa bagi para penganiayanya, ”Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat” (Lk 23:34).

Kita harus belajar untuk mengalahkan dosa dalam hidup harian kita. Penghinaan dapat mengganggu setiap orang. Kita harus berdiri pada kebenaran dan meminta orang lain untuk berpegang pada kebenaran juga. Bagaimanapun penghinaan juga dapat digunakan sebagai suatu kesempatan untuk  bertumbuh dalam cinta sesama.

Dewasa ini, kesetiaan dihadapkan dengan beberapa penolakan, ketidakacuhan dan suatu agresifitas. Bagaimana kita berhubungan dengan penghinaan jenis ini? Kita dapat mengabaikan penghinaan tersebut, tapi hal itu patut kita perhatikan karena menjadi suatu tanda diawalinya pengabaian terhadap Gereja dan Iman kita. Kita dapat masuk dalam tindakan agresif dan melakukan kemarahan yang berulang kali. Pertanyaannya adalah yang menjadi motivasi kita untuk bertindak dengan cara itu: Apakah itu dipandang sebagai gejolak pribadi atau apakah merupakan perhatian kita dalam pembelaan iman? Jika ini menjadi suatu gejolak pribadi, kita mungkin cenderung untuk bertindak secara berlebihan dan menjadi fanatik Yang dibutuhkan adalah suatu komitmen untuk pewartaan Kabar Gembira, bukan suatu pesan yang fanatik.  Pembaktian Yesus yang total ditandai dengan perasaan cinta.

Menurut pendapat saya, kita harus memberikan reaksi atas serangan terhadap Gereja, termasuk terhadap orang-orang dalam Gereja sendiri yang melukai Gereja dari dalam. Tapi tindakan kita tidak boleh menjadi fanatik. Kita memberikan warna pada setiap pesan, yang mempunyai landasan pada segi kemanusiaan di samping pada gagasan Ilahiah. .Dalam setiap tindakan, inspirasi Ilahi selalu mewarnai tafsiran kemanusiaan kita, dengan kata lain Cinta menjadi kata kuncinya.


Sepenanggungan dengan yang kesukaran


Gangguan yang dikarenakan oleh tingkah-laku seseorang merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Dalam hidup perkawinan, setiap pasangan akan mengalami perasaan luka pada awal hubungan mereka, namun perasaan itu akan tertutup oleh mantel cinta. Dalam suatu komunitas, mungkin banyak orang akan mengalami perasaan sakit dari perkataan rekan-rekan mereka yang menyakitkan. Jika kita ingin mengatakan kepada orang lain tentang apa saja yang mengganggu kita berulang kali, maka mereka mungkin akan menertawakan kita karena perasaan sakit yang kita rasakan didasarkan pada hal-hal yang bodoh. Perasaan sakit atau luka, bisa menjadi penyebab munculnya suatu tindakan kejahatan. Perasaan sakit sebenarnya berhubungan dengan kesombongan. Suatu sikap dimana seseorang merasa lebih (hebat, berharga, dll) dibandingkan dengan orang lain. Seseorang mungkin lupa bertanya, mengapa seseorang berkelakuan seperti itu atau apakah pribadi yang dikenai tindakan itu mengetahui bahwa sikap dan tindakannyalah yang menjadi sebab munculnya sikap jengkel tersebut. Sikap seperti ini memberikan suatu dorongan untuk membicarakan suatu masalah dengan pribadi yang lain dan mendorong kita untuk mendekati orang lain dengan suatu sikap cinta. Kebijaksanaan mengatakan bahwa kita harus memutar lidah kita (berpikir) sebanyak  tujuh kali sebelum berkata kepada yang lain bahwa dia mengganggu kita.

Alkitab menguatkan apa yang diajarkan oleh kebijaksanaan dan ilmu-ilmu psikologi kepada kita. Banyak Sabda Yesus menunjuk kepada suatu sikap toleransi. Perumpamaan tentang ilalang di antara gandum, tukang kebun yang menghabiskan waktunya untuk pohon ara yang tidak berbuah, dan sikap Yesus terhadapYudas si penghianat, dan kata-kata Yesus yang penuh arti ketika Ia tahu bahwa Petrus akan menyangkali diri-Nya. – Kita dapat menyaksikan bagaimana hubungan Yesus dengan orang-orang yang mengalami kesukaran.

Kita juga bisa melihat orang-orang pada zaman sekarang ini yang menunjukkan tingkat kesabaran yang begitu mengagumkan. St. Theresia Lisieux  Kanak-kanak Yesus berjalan pada jalan yang kecil untuk mencintai mereka yang telah memperlakukannya dengan tidak baik. Seorang suster di biaranya dikenal karena karakternya yang sulit dan bertanya kepada Teresa mengapa dia begitu baik kepadanya meskipun dia sering mengeluarkan kata-kata kasar kepadanya. Orang akan luluh hatinya jika kita tetap berbuat baik kepadanya.

Jean Vanier, seorang yang mengilhami Komunitas Bahtera Nuh menulis: ’La Communaute, Leie de fete et de pardon” (Komunitas sebagai tempat perayaan dan pengampunan). Dia mengatakan bahwa pernikahan, komunitas religius, tempat kerja dan komunitas hidup yang lain adalah tempat yang tepat untuk mengolah perasaan dan menghasilkan pengampunan. Suatu komunitas hanya dapat bertahan jika pengampunan diterapkan secara berkesinambungan. Anselm Grun dalam buku spiritualitasnya yang terbaru membahas mengenai peranan orang yang sulit. Mereka menjadi tempat dimana Rahmat Allah bertumbuh, karena mereka menjadi suatu undangan bagi kita untuk mewujudkan cinta secara terus-menerus. Mereka membuat kita keluar dari kemanusiaan kita agar kita menyadari betapa dangkal cinta kodrati yang ada dalam diri kita, dan mengikuti Yesus telah mengajarkan kepada kita bagaimana untuk mencinta. “Selalu, di mana saja, kepada siapa saja” kita mencinta, tapi kita menyadari bahwa cinta kita tidak dapat bekerja jika kita tidak terbuka akan kasih Allah.


Mendoakan mereka yang hidup dan yang mati


Setelah sebelumnya berbicara mengenai karya belaskasih, kita tidak dapat melupakan “satu hal penting”, yang menjadi inti pokoknya karena Kristus mengingatkan kita agar tidak lupa menghormati Allah ketika kita melakukan suatu karya dan kepedulian kita terhadap kesejahteraan sesama. Pujian kepada Tuhan dan cinta sesama adalah dua hal yang saling berhubungan seperti kembar siam. Keduanya berasal dari cinta Allah bahwa kita mencintai orang lain dengan tulus dan dapat mengenal Allah dalam diri orang lain: ”Segala sesuatu yang kamu perbuat untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ketika kita mencintai sesama dengan hati yang tulus, maka kita mencintai Allah yang penuh kasih. Berdoa bagi sesama dan membawa mereka bersama dengan pujian kepada Allah dan memohonkan mereka dalam doa resmi Gereja, khususnya dalam Ekaristi, maka secara eksplisit Gereja telah berdoa bagi kesejahteraan semua orang di dunia ini. Berdoa bagi sesama membawa kita dalam pujian kepada Allah, membawa sesama kepada Tuhan dan memohon kepadaNya. Doa merupakan kontrol terhadap cinta kita terhadap sesama. Dedikasi, perawatan, kesabaran dan pengampunan kita menghasilkan buah jika kita berdoa bagi sesama. Kita bahkan dapat berdoa bagi sesama ketika kita tidak dapat memberikan pertolongan dalam bentuk materi, sehingga cinta kita terhadapnya dapat dilakukan dalam bentuk doa. Doa mungkin merupakan jalan pemurnian dari cinta terhadap sesama jika kita meletakkan hati kita dalam doa dan mempercayakan sesama kita kepada pemeliharaan Bapa, yang tidak akan membiarkan seorangpun binasa.

Maka kita berdoa bagi mereka yang sakit, dengan mereka yang mana kita mempunyai suatu hubungan abadi. Hal ini merupakan bentuk cinta kita yang nyata kepada mereka ketika mereka masih di atas bumi; ini melengkapi apa yang kurang dalam cinta kita kepada mereka. Cinta kristiani yang tanpa batas menantang kita, dan dimana kita merasa gagal sesaat, maka doa dapat memulihkan kembali seperti Allah telah mengisi apa yang kurang dalam cinta kita, bahkan di luar batas kematian. Kita dapat melakukan untuk semua orang itu hal yang mungkin, kita masih dapat berdoa sambil menyerahkannya kepada Allah. Ini merupakan kesimpulan dan kumpulan dari keseluruhan karya belas kasih. Cinta kristiani terus hidup dan melampau semua bentuk teori, teologi maupun penafsiran. karya belas kasih. Cinta yang dipraktekkan, merupakan perwujudan dari pesan Injil, merupakan perwujduan dari gambaran Kristus dan kedatangan Kerajaan Allah di atas bumi. Kita harus mempertimbangkan rahmat dalam diri kita sendiri sehingga kita dapat bekerjasama dengan semuanya. Karya belaskasih membimbing kita dalam aktivitas doa ini..


5. CINTAKASIH / KARITAS – SUATU TUGAS UNTUK DEWASA INI

Bagaimana melakukan Cintakasih yang ideal sebagai pribadi?

Bukanlah hal yang mudah untuk memberikan tempat yang layak bagi Cintakasih dalam hidup keseharian kita karena terkait dengan inti tindakan kita. Dengan kata lain, di sana tidak ada jalan tengah – pilihannya hanya 2 yaitu: Kita dipimpin oleh cintakasih atau tidak.

Sebagai seorang Kristiani, kita harus melakukan cintakasih dalam hubungan kita dengan orang lain. Dalam hal ini, saya menawarkan beberapa saran.

Pesan Injil tentang radikalitas Khotbah di Bukit harus menjadi suatu tantangan bagi kita. Pesan itu tanpa tawar-menawar. Setiap bagian menuntut sikap radikalitas yang ditemukan dalam radikalitas Bapa. “jadilah sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya”, merupakan suatu nasehat Kristus sepanjang zaman. Kita tidak boleh setengah-tengah dalam berbelaskasih tapi harus secara total meniru cintakasih Bapa. Di dalam tindakan dan perumpamaan-Nya, Yesus dengan jelas mengatakan kepada kita bahwa Kabar Gembira tidak mempunyai batas sehingga dalam pewartaannya, kita tidak pernah merasa cukup. Sikap tawar-menawar harus disingkirkan dan harus berpegang pada semangat Injil. St. Vinsensius A Paulo menjawaban atas tantangan itu dengan melakukan – “davantage” (selalu lebih).

Kesederhanaan Kristiani selalu dipadukan dengan sikap radikal (tanpa pamrih) atau kita mungkin mengakhirinya dengan sikap fanatik (berpegang-terpusat pada satu-satunya Kristus), bahkan mungkin menjadi fundamentalis. Orang yang radikal terarah pada fanatisme. Kemudian dimana batas antara radikalitas dengan fanatisme? Lagi-lagi Yesus mengajarkan kepada kita bahwa Dia membenci perbuatan jahat manusia tapi Dia secara pasti tidak dapat menjauhkan setan dari kita. Perbuatan yang baik mengurangi keadaan kemanusiaan yang terbatas, parsial, temporal (terikat waktu) dan mengurangi penderitaan yang diakibatkan oleh setan. Seorang Teolog Perancis, Duquoc, menyebut hal ini dengan ekonomi Yesus.

Yesus melakukan hal yang baik, menyembuhkan orang sakit di banyak tempat tapi tidak mempunyai rencana umum untuk menjauhkan semua kejahatan dan membangun pemerintahan yang baik untuk selamanya. Dia dapat melakukan hal tersebut karena Dia adalah berkuasa, tapi Dia tidak melakukannya. Tindakannya tetap teguh; Dia bertindak secara radikal untuk siapa saja atau apa saja yang datang kepadaNya.

Inilah methode Yesus: menunjukkan perbuatan yang baik dan menyerukan Kabar Gembira; bertindak radikal untuk dirinya sendiri tapi tidak memaksa orang yang Dia temui. Memberikan ruang bagi rahmat Allah untuk berkarya merupakan suatu jalan yang jelas, yang baik adalah melalui cinta.

Hidup berpegang-berpusat pada satu-satunya Kristus (fanatisme) mulai masuk ketika kita menemukan sesuatu yang baik pada orang lain, hanya yang baik yang ada dalam pikiran kita. Cintakasih kristiani adalah suatu ikatan yang baik – suatu keindahan – suatu cinta. Cinta terarah pada pandangan yang jelas tanpa ada ‘udang di balik batu’. Kita dibuat kagum ketika orang Kristiani mengutamakan pandangan yang baik dengan suatu sikap yang radikal, tetapi yang melampaui tujuan kodrati – yaitu dengan mencintai sesama.

Banyak kecaman atas sikap orang Kristiani sendiri yang setengah-setengah. Tindakan yang setengah-setengah itu hadir ketika dalam hubungan kita, kita tidak lagi bersikap radikal, ketika kita memperlihatkan sikap toleransi-membiarkan suatu kegagalan dari radikalitas cinta manusia. Pertempuran melawan setan-kejahatan, tidak harus menjadi pertempuran melawan pribadi yang melakukan kejahatan. Bertekun dalam cinta sesama akan menciptakan suatu ruang bagi rahmat Allah untuk keluar dari kejahatan. Hanya cinta yang dapat mengalahkan setan.

Masuk dalam ekonomi Yesus, bagaimana kita dapat membenarkan pensistimatisasian (pengaturan) segala hal dalam hidup ini? Orang Kristiani ingin melakukan Cintakasih dengan baik. Apakah kita salah jika kita menyebarkan sesuatu yang bermanfaat? Dapat dan mungkinkah prinsip-prinsip ini menemukan penerapannya dalam Cintakasih Kritiani? Jika dalam hal itu ada bagian yang bernilai hilang maka hal ini menjadi persoalan iman. Mencintai Allah, mencintai sesama dilakukan hanya karena Allah dan Sesama – Mereka menjadi motivasi kita.

Jika kita mensistimatisasikan dan menstrukturkan cintakasih, kita tidak akan pernah bekerja untuk meningkatkan cinta kita tapi hanya meningkatkan sejumlah penderitaan.

Cinta kasih itu sendiri tidak dapat distrukturkan atau disistematisasikan; Cintakasih itu menyerap sistem dan sturuktur yang ada. Ketika kita datang sebagai anggota warga kota untuk memberikan bantuan untuk mengurangi kemiskinan, maka kita harus menerima tantangan bahwa kita merawat dengan penuh kasih orang-orang yang kita temui dalam karya pelayanan kita, itulah bagian dari pendekatan struktural atas masalah kemiskinan di dunia ini. Jadi tidak menurut aturan yang kita buat sendiri, tapi menurut kebutuhan kaum miskin.

Perawatan kesehatan merupakan saat dimana kita memperlihatkan kasih kepada sesama dengan keahlian perawatan kita. Cinta memurnikan keahlian kita dan menguatkan kecenderungan untuk mengorganisasi dengan baik. Organisasi yang cukup memadai dimaksudkan untuk menciptakan suatu kesempatan mencinta dalam suatu wilayah dan situasi.

Organisasi yang tidak berfungsi tampak bila Cintakasih tidak terjadi, yaitu tidak adanya manfaat dan efisiensi dan tidak sesuai dengan tujuan cintakasih Kristiani.

Dalam dunia yang dibimbing oleh prinsip-prinsip yang jauh berbeda dari iman dan cintakasih, itu merupakan salah satu kesulitan untuk menyadari Cintakasih dalam segala keadaan. Dalam situasi ini, kesetiaan bisa mendukung satu sama lain demi persatuan dan kelompok untuk suatu tujuan yang jelas.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja menekankan pentingnya tiap orang dalam komunitas sebagai “Garam dunia”. Kelompok-kelompok ini menolong orang-orang untuk tetap teguh sebagai warga Gereja, mereka dikuatkan oleh pesan Injil dan bertempur dengan sikap tetap teguh berpegang pada Kristus. Dari akar rumput komunitas ini, sebuah organisasi ditujukan untuk menciptakan suatu ruang agar Cintakasih bisa berkembang di dalamnya.

Kesimpulannya, jika kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana seorang Kristiani akan tetap berteguh dalam melaksanakan cintakasih, satu prinsip harus ditegakkan diantara segala hal yang telah kita bicarakan di atas – ialah terarah kepada Allah. Kita hanya dapat mencintai sesama dengan tulus jika kita berjalan dalam cinta di hadirat Allah. Kita perlu kembali kepada sumber utama (doa) untuk menciptakan suatu ruang bagi Cintakasih. Tanpa doa, refleksi dan bacaan rohani yang teratur, kita menghadapi resiko hasil karya kerasulan kita hanya mengarah kepada mencari keuntungan saja..